Jakarta (ANTARA) - Pada Desember 2024, gerakan Jamaah Islamiyah (JI) resmi mendeklarasikan kesetiaan kembali kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah sebelumnya, pada Juni 2024, secara resmi membubarkan organisasinya.
Hal ini belum pernah terjadi di belahan dunia manapun.
Semua mafhum bahwa banyak teroris dikenal di lingkungannya sebagai orang baik dan pintar. Beberapa di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center, pernah mengatakan bahwa remaja dan pemuda yang pintar serta baik sering terjebak dalam ajaran Islam yang palsu karena bertemu dengan guru yang salah.
Jika ajaran tersebut membuat pemeluknya menjadi lebih berakhlak mulia, maka ajaran itu sesuai dengan yang digariskan oleh Allah SWT, sebaliknya, jika ajaran itu membuat pengikutnya melakukan tindakan kriminal atau kekerasan, maka keliru.
Peran guru atau mentor sebagai pintu masuk dan keluar dari gerakan terorisme disadari betul oleh pemerintah, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pemerintah melibatkan mereka untuk menyadarkan para pelaku terorisme yang masih aktif.
Ken Setiawan sadar setelah bertemu mantan teroris senior yang pernah berjuang di Afghanistan. Mantan teroris tersebut justru menyarankan Ken untuk memikirkan keluarganya. Banyak pelaku teror yang terlalu sibuk memikirkan negara, tetapi justru mengabaikan hubungan dengan keluarga terdekat, orang tua, mertua, istri, dan anak.
Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mampu mendorong organisasi teroris untuk membubarkan diri dan mendeklarasikan kesetiaan kepada bangsa dan negara.
Keberhasilan ini dapat dipromosikan oleh Kementerian Luar Negeri agar negara lain yang menghadapi persoalan serupa dapat belajar dari Indonesia.
Keberhasilan Indonesia ini dalam penanganan terorisme disebut lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan.
Pemerintah menyadari bahwa terorisme tidak hanya lahir dari ideologi radikal semata, tetapi juga dari berbagai faktor sosial dan ekonomi.
Salah satu contoh nyata program pemerintah adalah pelatihan kerja dan pemberdayaan ekonomi bagi mantan teroris dan keluarganya. Program ini membantu mantan teroris mandiri secara ekonomi, sekaligus membangun rasa percaya diri untuk kembali berkontribusi kepada masyarakat.
Peran media juga penting dalam proses deradikalisasi. Media memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik.
Pendekatan yang mengutamakan dialog, kasih sayang, dan pemberdayaan manusia dapat menjadi solusi efektif dibandingkan penggunaan kekuatan semata.
*) H. Ahmad Nawawi Arsyad adalah Ketua Umum Generasi Muda Mathla’ul Anwar
Baca juga: 180.954 konten radikalisme di medsos dihapus BNPT-Kemkomdigi
Baca juga: Ini dia sosok Kepala BNPT Eddy Hartono yang dekat dengan antiteror