Kabupaten Bogor (ANTARA) - Akademisi Universitas Djuanda Kabupaten Bogor Jawa Barat Dr. Aep Saepudin Muhtar, M. Sos menilai putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold akan memperkuat kedaulatan rakyat.
"Langkah untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, menguatkan hak politik dan kedaulatan rakyat, serta membuka persaingan yang lebih sehat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden," kata pria yang akrab disapa Gus Udin itu di Cibinong, Jumat.
Menurut dia, penghapusan presidential threshold mengurangi dominasi partai besar dan oligarki kekuasaan serta membuka kesempatan bagi semua partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.
Penghapusan ambang batas pencalonan presiden, membuka kesempatan bagi partai politik untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik untuk mengajukan calon pemimpin yang beragam dan potensial.
"Hal Ini juga membuka ruang bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi lebih aktif dalam proses politik," ujarnya.
Gus Udin menambahkan bahwa dengan adanya penghapusan ambang batas pencalonan presiden juga memunculkan tantangan baru, khususnya dalam proses pencalonan akan lebih kompleks.
Sebelumnya, MK memutuskan penghapusan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.
Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.
Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.
Baca juga: Sah, Mahkamah Konstitusi hapus "presidential threshold" pada UU Pemilu