Jakarta (ANTARA) - Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) Felia Primaresti meminta DPR RI dan Pemerintah untuk serius menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT).
Menurut Felia, revisi Undang-Undang Pemilu yang telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) harus menjadi momentum bagi pembentuk undang-undang untuk mengintegrasikan putusan MK secara eksplisit. Langkah tersebut dinilai penting demi menjaga legitimasi legislasi dan esensi demokrasi.
“Revisi UU Pemilu harus mencantumkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden tanpa membuka ruang multitafsir. Proses revisi ini juga wajib melibatkan pemangku kepentingan seperti partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil agar partisipasi bermakna tercapai,” kata Felia di Jakarta, Senin.
Pada pertimbangan hukum Putusan Nomor 62/PUU-XXII/202, MK memberikan lima pedoman rekayasa konstitusional untuk pencalonan presiden, termasuk di antaranya larangan bagi partai politik yang tidak mencalonkan pasangan capres-cawapres.
Menurut Felia, poin tersebut memiliki dampak positif dalam mendorong partai politik berpartisipasi aktif dan mereformasi kelembagaan partai.
“Partai politik akan terdorong untuk lebih mempersiapkan kadernya, sehingga fungsi partai politik sebagai institusi demokrasi semakin terwujud. Efisiensi pemilu juga dapat ditingkatkan dengan hanya melibatkan partai yang serius mencalonkan pasangan calon,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, Felia menyoroti risiko yang mungkin terjadi, terutama bagi partai kecil. Menurut dia, tanpa dukungan yang memadai, partai kecil berpotensi terkooptasi oleh partai besar atau koalisi dominan sehingga dapat mempersempit keberagaman politik dan mengurangi pilihan bagi masyarakat.