Jakarta (ANTARA) - Setelah pelaksanaan Putaran Kelima The Intergovernmental Negotiating Committee on Plastic Pollution (INC-5) di Busan, Korea Selatan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyampaikan berbagai poin penting terkait bahaya sampah plastik yang menjadi perhatian global.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menegaskan bahwa perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi termasuk polusi plastik baik di daratan maupun lautan merupakan isu lingkungan hidup global yang saling terkait.
"Permasalahan ini disebabkan oleh pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan," ujar Hanif Faisol, Selasa.
Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP), jumlah sampah plastik yang masuk ke ekosistem akuatik berpotensi meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2040 jika tidak ada upaya pencegahan.
"Pada 2016, polusi plastik tercatat sebesar 9-14 juta ton dan diperkirakan akan mencapai 23-27 juta ton pada 2040," ungkapnya.
Karena sifatnya yang transnasional dan lintas batas negara, serta ancaman serius dari polusi plastik khususnya pada lingkungan laut, sehingga mendorong disepakatinya United Nations Environment Assembly (UNEA) Resolusi 5/14 pada Maret 2022.
"Resolusi ini memberi mandat kepada Direktur Eksekutif UNEP untuk menyusun International Legally Binding Instrument (ILBI) untuk mengakhiri polusi plastik, termasuk di lingkungan laut, yang ditargetkan rampung pada akhir 2024," katanya.
Sejak awal, lanjut Hanif, Indonesia aktif berkontribusi dalam perundingan INC. Pada INC-1 hingga INC-5, Delegasi Indonesia terus menyuarakan pentingnya prinsip consensus dan inklusivitas dalam pengambilan Keputusan, menjunjung tinggi prinsip Common but Differentiated Responsibility (CBDR), mengakui kebutuhan masing-masing negara khususnya negara dengan Specific Geographical Condition seperti negara kepulauan (Archipelagic States) yang rentan terhadap sampah plastik di laut yang lintas batas termasuk Indonesia dan memperjuangkan isu-isu strategis seperti pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular serta pembiayaan yang adil dan terprediksi bagi negara berkembang.
Selain itu, Indonesia juga menyoroti pentingnya pendekatan National Action Plans (NAPs) yang sesuai dengan kebutuhan nasional, penguatan tata kelola limbah plastik, dan implementasi konsumsi serta produksi berkelanjutan.
Indonesia juga mendorong terbentuknya mekanisme pembiayaan baru yang memadai, khususnya untuk mendukung negara-negara berkembang dan negara kepulauan. "Kami menekankan keseimbangan antara right to development dan right to clean, healthy, and sustainable environment," ucap Hanif.
Namun, negosiasi belum mencapai kesepakatan terkait beberapa pasal krusial, seperti pengaturan Primary Plastic Product and Chemicals, produksi plastik, serta mekanisme pembiayaan. Perbedaan pandangan antara negara maju dan berkembang menjadi tantangan besar. Resolusi final ditunda hingga sesi lanjutan INC-5.2 yang dijadwalkan pada 2025.
Indonesia berkomitmen menjadi bridge builder dalam perundingan ini dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional, seperti perlindungan wilayah negara kepulauan dari dampak polusi plastik lintas batas. Hanif menyatakan "Kami akan terus mengedepankan prinsip inklusivitas dan semangat multilateralisme untuk mencapai solusi global," pungkasnya.
Bahaya polusi plastik jadi sorotan di INC-5 Korea Selatan
Selasa, 31 Desember 2024 8:45 WIB