Bologna (ANTARA) - "Kita tidak boleh lelah dan harus tetap waspada menjaga kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers adalah salah satu cermin dari kemerdekaan bangsa dan negara dalam arti sesungguhnya."
Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja seringkali menitipkan pesan tersebut di atas, manakala berdiskusi dengan kalangan wartawan. Salah satunya, saat Ketua Dewan Pers 2000—2003 tersebut diundang berdiskusi di Kantor Berita Timor Leste TATOLI pada 12 Juni 2019.
Lahir pada 20 Oktober 1938 di Labuan, Banten, Atmakusumah Astraatmadja (86) pada Kamis (2/1) pukul 13.05 WIB wafat, setelah beberapa lama mendapat perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta.
Sosok Atmakusumah sangat dikenal pula di Timor Leste lantaran sebagian besar wartawannya adalah alumni Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) semasa negeri itu masih menjadi bagian dari Republik Indonesia maupun setelah merdeka.
LPDS adalah pusat pendidikan dan pelatihan wartawan yang didirikan Dewan Pers pada 23 Juli 1988, dan Pak Atma –demikian sapaan akrabnya– menjadi direktur eksekutif pada 1994—2002.
Kemerdekaan pers menjadi lahan perjuangan sekaligus pengabdiannya. Ia mengawali karir sebagai wartawan harian Indonesia Raya yang didirikan Mochtar Lubis (1922—2004) medio 1950-an hingga tutup pada 1958. Karir tersebut dilanjutkannya sebagai redaktur pelaksana saat Indonesia Raya terbit kembali di tahun 1968, hingga dibredel pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto pada 1974.
“Pembredelan pers itu sangat memberatkan. Saya mengalami langsung di harian Indonesia Raya. Wartawan dan pengawainya tiba-tiba menganggur, dan hak masyarakat pun untuk memperoleh informasi sangat dibatasi,” ujarnya.
Bahkan, wartawan Pers Biro Indonesia (Press Indonesia Agency/PIA) tahun 1960 yang kemudian melebur ke Kantor Berita ANTARA pada 1962 itu mengemukakan, ada ketegangan dan ketakutan publik kalau pers dibungkam.
Hal itu dirasakan pula saat Pak Atma menjadi wakil ketua, kemudian ketua Serikat Sekerja ANTARA pada 1966—1968 gegara belasan wartawannya dipecat ataupun ditangkap aparat keamanan lantaran dituduh pro-komunis dan anti-tentara.
Semangat Atmakusumah untuk kemerdekaan pers kian terlihat saat menjadi salah seorang di garda terdepan dalam proses perumusan dan pengesahan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Jika tidak setuju dengan satu pendapat, maka harus dibalas dengan pendapat lain. Begitu pun bila tidak setuju dengan kata-kata atau tulisan, maka harus dibalas dengan kata-kata atau tulisan pula. Bukan dibalas dengan senjata, apalagi kekuasaan membabi buta," kata Atmakusumah dalam satu argumennya di DPR, saat membahas UU Pers untuk menentang pembredelan.
Ia lantas mendapat mandat kalangan tokoh pers nasional menjadi Ketua Dewan Pers 2000—2003, yang notabene menjadi Dewan Pers Independen hasil Gerakan Reformasi 1998. Oleh karena, Dewan Pers sebelumnya dibentuk berdasarkan UU Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (UU Pokok Pers) yang langsung diketuai Menteri Penerangan.
Aksi nyata Atmakusumah untuk kemerdekaan pers nasional maupun global mengantarkannya meraih Anugerah Ramon Magsaysay pada 31 Agustus 2000 untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif dari The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina.
Putra dari seorang pamong praja yang pernah menjadi camat, wedana, dan penjabat bupati di berbagai tempat di Banten, serta Bekasi (Jawa Barat) H. Yunus Astraatmadja itu pun dikenal memiliki dokumentasi yang sangat baik.
Pasangan Atmakusumah-Sri Rumiati membiasakan ketiga putranya, Kresnahutama Astraatmadja alias Tamtam (produser film dan pendiri Pikser Indonesia Production di Jakarta), Rama Ardana Astraatmadja (produser film dan penyunting buku di Yogyakarta), dan Tri Laksmana Astraatmadja (doktor astrofisika partikel di Baltimore, AS) mengenal pustaka sekaligus merawat, serta menyusun indeks buku bersamaan dengan saat belajar membaca.
*) Priyambodo RH adalah wartawan Kantor Berita ANTARA (1989—2024)
Baca juga: Dewan Pers ungkap ada 19 pengaduan yang ditangani satgas soal pilkada