Jakarta (ANTARA) - Hamparan rumput laut menutupi sebagian pesisir perairan laut Negeri Nuruwe, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Puluhan warga menggantungkan perekonomian keluarga dari hasil panen tanaman yang sudah dibudidayakan sejak 2005 itu.
Hesty Matital bersama suaminya Wills Maail boleh dibilang merupakan keluarga yang pertama kali membudidayakan rumput laut di sana. Mereka bertanggung jawab mengelola satu kelompok pembudidaya bernama Titapu, beranggotakan 10 orang yang mengelola secara bersama hamparan rumput laut seluas dua hektare (ha).
“Baru selesai panen, dibersihkan dulu sebelum dikeringkan untuk dijual,” kata Hesty saat ditemui ANTARA medio November 2020.
Sambil membersihkan rumput laut di Pantai Nuruwe, Hesty bercerita bagaimana komoditi rumput laut mampu menopang perekonomian mereka saat pandemi COVID-19 terjadi. Walaupun harga jual anjlok, petani rumput laut masih bisa bernafas lega karena masih ada yang membeli rumput laut mereka.
“Walaupun penjualan tidak lancar, tetapi masih ada yang beli rumput laut saat pandemi,” ujar Hesty.
Baca juga: Penelitian UP: Rumput laut coklat mampu atasi penyumbatan pembuluh darah
Jika sebelum pandemi COVID-19 mereka bisa menerima Rp15 ribu per kilogram (kg) rumput kering, sayangnya saat ini mereka hanya bisa menerima Rp10 ribu per kg. Sementara harga jual rumput laut basah yang sebelumnya dihargai Rp8 ribu per kg kini hanya bisa dijual dengan harga Rp5 ribu per kg.
“Dalam setahun, rumput laut bisa dipanen hingga tiga kali,” ungkap Hesti sambil menceritakan biasanya mereka bisa mendapatkan maksimal 10 ton rumput laut sekali panen.
Di Negeri Nuruwe, tercatat 16 kelompok pembudidaya rumput laut. Namun saat pandemi COVID-19 hanya tersisa empat kelompok saja yang aktif, yakni Titapu, Rurehe, Taripang dan Sejahtera.
Potensi
Pemerintah Provinsi Maluku melaporkan potensi lahan budi daya rumput laut jenis Eucheuma cottonii mencapai 19.509 hektare (ha) di sana. Lahan yang termanfaatkan untuk budi daya rumput laut tersebar di Kabupaten Seram Bagian Barat seluas 929 ha, Kabupaten Seram Bagian Timur seluas 140 ha dan Kabupaten Kepulauan Aru seluas 1.587 ha.
Baca juga: Peneliti IPB manfaatkan rumput laut lokal untuk bahan baku pakan ikan nila
Ketua Kelompok Budi Daya Titapu, Walthimul Maail mengatakan budi daya rumput laut sangat menjanjikan untuk kehidupan keluarga dan warga di Negeri Nuruwe. Warga bahkan mendapatkan penghasilan tambahan dengan mengolah pascapanen rumput laut kering.
Selain itu, budi daya rumput laut juga dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar. Butuh banyak tenaga kerja mulai dari proses mengikat rumput laut hingga panen.
Hal senada disampaikan Ketua Kelompok Budi Daya Rurehe, Pit Lewaney yang mengataka potensi budi daya rumput laut masih menguntungkan, walaupun itu bukan menjadi pekerjaan utama warga di sana. Mereka sebenarnya masih mengandalkan hasil bertani dari komoditi perkebunan seperti pala dan cengkeh sebagai pendapatan utama mereka.
Budi daya rumput laut dapat dilakukan pada musim angin timur, yang terjadi sejak awal April hingga akhir November. Dalam setahun, rumput laut dapat dipanen maksimal tiga kali, meski normalnya petani di Nuruwe memanen rumput laut hanya dua kali dalam setahun.
Budi daya rumput laut juga menggunakan tenaga kerja besar saat proses mengikat bibit di tali dan pembersihan tali usai dilakukan panen. Sambil menunggu petani rumput laut, mereka akan kembali bekerja di kebun.
Hanya sekali-kali saja melakukan kontrol dan pembersihan tanaman. Butuh waktu setidaknya 60 hari dari mulai proses penanaman bibit rumput laut, pemanenan, hingga pengeringannya, dan biasanya sekali panen bisa dapat 10 ton.
Setelah dikurangi biaya operasional untuk membayar tenaga kerja yang mengikat bibit rumput laut sebesar Rp5.000 per tali dan yang mencuci tali usai panen sebesar Rp2.000 per tali, barulah keuntungan hasil penjualan dibagi rata kepada setiap anggota kelompok.
Sebenarnya masih ada potensi lain yang bisa mereka dapatkan selain dari penjualan rumput laut kering, mengingat bisnis bibit rumput laut basah juga masih terbuka lebar di sana. Pit mengakui sejak 2019 lalu, para petani mendapatkan pesanan bibit dari Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon seharga Rp5.000 per kilogram.
Ancaman penyakit
Besarnya potensi budi daya rumput laut di Negeri Nuruwe juga dibayangi ancaman penyakit tanaman. Bahkan penyakit yang belum diketahui penyebabnya itu membuat hasil produksi menurun.
“Hampir semua rumput laut terkena penyakit namanya 'bulu kucing',” ungkap Hesty Matital sambil membersihkan rumput laut yang selesai dipanennya.
Baca juga: Mahasiswa IPB Ciptakan Produk Inori dari Rumput Laut Lokal
Secara normal tanaman rumput laut bersih. Namun, jika terkena penyakit "bulu kucing", tanaman rumput laut seperti ditumbuhi bulu-bulu halus berwarna putih yang melengket di bagian badan rumput laut.
Pertumbuhannya juga menjadi lambat bahkan mengecil hingga rontok dari tali pengikat jika penyakit yang tidak diketahui dari mana datangnya itu sudah menyerang. Kejadian itu sudah dilaporkan kepada dinas terkait namun belum ada solusi atau penanganan yang diberikan guna mengatasi serangan bulu kucing.
“Agar tidak rugi, kami memanen rumput laut lebih cepat dari waktu panen,” kata Hesty.
Jika merujuk pada beberapa jurnal penelitian, serangan penyakit tanaman rumput laut jenis Euchema Sp, yakni “ice-ice” biasanya ditandai dengan timbulnya bintik putih atau bercak-bercak pada sebagian thallus yang lama kelamaan kehilangan warna dan menjadi putih dan terputus.
Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat dan perubahan warna menjadi pucat atau berwarna tidak cerah, lalu seluruh thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk.
Butuh dukungan
Sejak 15 tahun lalu, sebagian warga Negeri Nuruwe sudah membudidayakan rumput laut. Proses budidaya dilakukan masyarakat masih sebatas menanam, membersihkan tanaman hingga panen dan dijual dalam bentuk basah atau kering.
Pit Lewaney mengakui beberapa warga sudah mencoba mengolah rumput laut kering menjadi olahan cemilan makanan. Namun itu belum maksimal karena keterbatasan sumber daya manusia di sana.
Keterbatasan tempat pengeringan dan gudang penyimpanan juga menjadi kendala saat produksi rumput laut sedang melimpah. Kelompok Ruruhe yang dikelola Pit masih mengandalkan rumah tempat tinggal sebagai gudang dengan daya tampung maksimal lima ton rumput laut kering.
Hal senada disampaikan Hesty Matital, yakni kelompok Titapu hanya memiliki satu gudang kayu yang mampu menyimpan maksimal 10 ton rumput laut kering. Kurangnya fasilitas penyimpanan membuat para petani menjual sedikit demi sedikit hasil panen mereka.
Negeri Nuruwe menjadi salah satu kampung di Provinsi Maluku yang menjadi tujuan Ekspedisi Maluku EcoNusa. Pendiri Yayasan EcoNusa Bustar Maitar mengatakan misi ekspedisi tersebut untuk mengajak masyarakat agar tetap melestarikan ekosistem hutan dan laut.
Selain itu, Kampung Nuruwe akan menjadi salah satu kampung pendampingan EcoNusa untuk program School Eco Involvement (SEI) pada awal 2021. Program SEI sendiri berfokus pada pengelolaan potensi kampung untuk membangun ketangguhan kampung di bidang pangan, energi dan pengelolaan lingkungan.
Apapun program pendampingan atau dukungan yang diberikan, para petani di Nuruwe siap menyerahkan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana pendukung agar hasil pengembangan budi daya rumput laut di sana menjadi lebih maksimal.
Ini cerita rumput laut dari negeri Nuruwe
Sabtu, 19 Desember 2020 8:02 WIB
Di Negeri Nuruwe, tercatat 16 kelompok pembudidaya rumput laut. Namun saat pandemi COVID-19 hanya tersisa empat kelompok saja yang aktif, yakni Titapu, Rurehe, Taripang dan Sejahtera.