Depok (ANTARA) - Tim Peneliti Universitas Indonesia (UI) menilai walaupun kasus kekerasan seksual pada anak terus mengalami peningkatan, hingga saat ini penanganannya belum berpihak pada korban.
Pemerintah pusat maupun daerah sebaiknya menyiapkan mekanisme rehabilitasi agar mental korban kekerasan seksual bisa dipulihkan.
“Seringkali korban malah mendapatkan label yang tidak adil. Sudah jadi korban, mendapatkan stigma pula, dan tidak ada upaya rehabilitasi,. Ini mengenaskan,” kata Ketua Tim Riset Pencegahan Kekerasan Seksual pada Anak Universitas Indonesia (UI) Emir Chairullah Ph.D dalam keterangan persnya usai melakukan Riset Penanganan Kekerasan Seksual pada Anak di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu.
Riset ini diinisiasi para peneliti dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional dan Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI. Di samping Emir, tim peneliti ini beranggotakan Dr. Annisah, Getar Hati, Nurul Isnaeni, Ph.D., Shinta Tris Irawati, M.Kesos, Nurma Ayu Wigati S. Subroto M.Kom, Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, Aisha Putri Safrianty, Hana Maulida, S.Kesos, dan Aviva Lutfiana, M.Psi.
Baca juga: UI minta pemerintah tingkatkan pengetahuan guru atasi kekerasan anak di kawasan 3T
Selain itu, penelitian ini juga melibatkan Yayasan Kakak Aman Indonesia, sebuah LSM yang bergerak dalam upaya pencegahan kekerasan seksual anak.
Emir menyebutkan dalam penelitian yang didanai Direktorat Inovasi dan Riset Berdampak Tinggi UI (DIRBT-UI) tersebut pihaknya menemukan hingga saat ini penanganan kekerasan seksual pada anak masih berkutat bagaimana menghukum pelaku.
“Padahal dalam kasus kekerasan ini, masa depan anak yang menjadi taruhannya,” tegasnya.
Sementara itu, Annisah yang juga merupakan Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial UI menyebutkan, tim risetnya melihat bahwa banyak daerah terutama di kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) belum memiliki rumah aman atau rumah singgah yang bertujuan mengembalikan mental korban.
Baca juga: UI perkuat penanganan antikekerasan seksual terhadap perempuan
Karena itu, saat ini pemerintah daerah perlu menyiapkan rumah singgah/rumah aman yang diisi profesional dalam menangani korban kekerasan seksual.
“Sehingga apabila ada kasus, orang tua korban tahu harus ke mana. Di sana ada psikolog, konselor, dan pekerja sosial profesional yang merehabilitasi mental korban,” jelasnya.
Annisah menyebutkan, di satu sisi para keluarga korban memiliki tujuan yang baik untuk melindungi anaknya yang menjadi korban kekerasan seksual dari stigma.
Seringkali para orang tua menyelesaikan problem kekerasan seksual ini melalui mekanisme kekeluargaan.
Apalagi, tambahnya, pelaku kekerasan seksual pada anak seringkali berasal dari kerabat terdekat yang seharusnya menjaga korban. Sebagai contoh dalam penelitiannya, pihaknya menemukan pelaku merupakan kakek, paman, ayah, guru, kepala sekolah, dan tokoh masyarakat.
“Mereka menganggap dengan membayar denda, persoalan sudah selesai. Namun, yang sering dilupakan, trauma yang dialami korban kalau tidak diatasi bisa terbawa sepanjang hidup,” ungkapnya.
Baca juga: UI tetapkan 13 anggota Satgas PPKS tahun 2022-2024
Jadi Prioritas
Sedangkan, Ketua Tim Penggerak PKK Ende yang merupakan istri Bupati Ende Cici Badeoda menegaskan, penanganan kasus kekerasan seksual yang berpihak korban harus menjadi prioritas.
"Kalau tidak diatasi, dampaknya akan kemana-mana, kesehatan fisik juga mental dari korban dan keluarganya. Makanya UPT PPA harus segera untuk dibentuk,” ujarnya.
Karena itu, dirinya mengapresiasi upaya FISIP UI melakukan riset pencegahan kekerasan seksual pada anak di wilayahnya.
“Ini upaya positif dari FISIP UI untuk mengurangi bahaya kekerasan seksual pada anak. Bagaimana mau menghasilkan Generasi Emas di 2045 kalau masa depan anak-anak kita sudah dirusak," pungkasnya.
