Jakarta (ANTARA) - Wakil Rektor Universitas Prasetiya Mulya Fathony Rahman mengingatkan agar kemajuan transaksi digital yang terus berkembang hingga saat ini haruslah dibarengi dengan perlindungan data pribadi yang mumpuni.
"Kalau saya lihat Indonesia masih lemah terhadap perlindungan data pribadi," kata Fathony dalam diskusi bertajuk "Ngobrol Santai Transaksi Digital Anti Ribet, Anti Worry" di Jakarta, Kamis.
Kegiatan yang diselenggarakan hasil kerja sama Tenggara Strategic bersama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga diikuti beberapa perguruan tinggi.
Fathony membenarkan pembayaran digital membuat kemudahan dalam bertransaksi bahkan memangkas biaya-biaya secara signifikan namun bersamaan dengan itu transaksi melanggar hukum (ilegal) seperti judi online dan pinjaman online non performing juga meningkat.
Menurut Fathony transaksi ilegal ini masuk melalui media sosial dan iklan digital yang semua itu terjadi karena adanya kebocoran data pribadi.
"Belum lagi masih tingginya praktik scam dan pishing yang bertujuan menguras rekening simpanan," ucap Fathony.
Dia menjelaskan diberbagai kasus pembobolan rekening bank, pemilik rekening terkadang tidak menyadari telah menjadi korban penipuan.
"Tingginya kasus kejahatan dalam transaksi digital mendorong pentingnya literasi digital di masyarakat. Tujuannya agar masyarakat lebih waspada terhadap berbagai upaya penipuan," ucap Fathony.
Sedangkan peneliti senior dari Tenggara Strategic, Galby R. Samhudi membenarkan secara sistem keamanan transaksi digital di Indonesia sudah dibuat berlapis mulai dari pin, otp, hingga biometrik yang dinilai sudah mencukupi.
Namun saat ini tengah dikembangkan tambahan lapisan baru yakni sertifikasi elektronik sebagai konsekuensi transaksi digital dianggap memiliki risiko tinggi. Persoalannya apakah masyarakat siap untuk memakai tambahan sistem keamanan tersebut.
"Harus diingat lapisan keamanan baru tersebut harus memiliki landasan hukum yang memadai di atasnya dalam hal ini undang-undang agar pelaksanaannya berjalan lancar," kata Galby.
Dia mengingatkan sistem keamanan yang terlalu ketat seperti di Inggris juga membuat penggunanya menjadi tidak nyaman.
"Pada intinya sekuat apapun sistem keamanan dibuat, namun pada akhirnya berpulang kepada pemilik rekening tersebut. Pemilik harus diedukasi untuk melindungi data pribadi miliknya terhadap praktik fraud yang banyak berkembang saat ini," ujar dia.
Sedangkan CEO dan Co-Founder Ligwina Hananto QM Financial melihat adanya ketidak sesuaian antara inklusi keuangan yang berjalan terlalu cepat dibandingkan dengan literasi keuangan.
"Pertumbuhan indeks inklusi keuangan mencapai 85 persen, sedangkan indeks literasi keuangan hanya 66,46 persen," ucap dia.
Persoalan edukasi transaksi digital menjadi sangat penting mengingat berdasarkan data Bank Indonesia transaksi uang elektronik pada 2024 sudah mencapai Rp2.500 triliun, transaksi QRIS Rp659, 93 triliun, serta pada kuartal I 2025 transaksi uang elektronik sudah mencapai Rp739,41 triliun.
Serta dipastikan ke depan akan terus meningkat mengingat kemudahan yang ditawarkan, tentunya hal ini harus dibarengi dengan sistem pengamanan yang juga disertai dengan edukasi di masyarakat.
Kemajuan transaksi digital harus dibarengi perlindungan data pribadi
Kamis, 25 September 2025 21:25 WIB
CEO dan Co-Founder Ligwina Hananto QM Financial tengah menjelaskan pentingnya edukasi finansial ditengah pesatnya pertumbuhan transaksi digital di ajang "Ngobrol Santai Transaksi Digital Anti Ribet, Anti Worry" yang dihadiri kalangan perguruan tinggi. (ANTARA/Dokumen Pribadi)
