Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto, baru-baru ini, menyampaikan gagasan besar untuk memperluas lahan sawit sebagai langkah strategis menuju swasembada energi nasional.
Ini adalah upaya strategis yang mencerminkan niat pemerintah untuk memperkuat kemandirian energi Indonesia.
Namun, seperti halnya setiap kebijakan besar, langkah ini membutuhkan perencanaan matang dan diskusi mendalam untuk memastikan tujuannya sejalan dengan visi keberlanjutan bangsa.
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, termasuk hutan tropis yang menjadi salah satu paru-paru dunia.
Keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya tidak hanya menjadi kebanggaan, tetapi juga aset yang harus dijaga.
Di tengah krisis iklim global, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi dan kelestarian lingkungan?
Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap pengurangan emisi karbon melalui Perjanjian Paris dan berbagai kebijakan lingkungan.
Komitmen ini adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, perjalanan menuju pencapaian target tersebut membutuhkan sinergi dan harmoni antara pembangunan ekonomi dan pelestarian alam.
Rencana perluasan lahan sawit yang disebut tidak akan menyebabkan deforestasi menjadi salah satu hal yang menarik perhatian publik.
Banyak yang melihat bahwa langkah ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebab, secara ilmiah, pembukaan lahan baru, khususnya di kawasan hutan atau lahan gambut, berpotensi melepaskan emisi karbon dalam jumlah signifikan.
Di sisi lain, sawit juga menawarkan peluang besar sebagai bahan baku bioenergi yang mendukung upaya kemandirian energi.
Sawit, memang tergolong tanaman C3, tetapi hasil riset menunjukkan memiliki tingkat efisiensi fotosintesis yang tinggi.
Sawit mampu menyerap karbon dioksida dari udara lalu mengubahnya menjadi biomassa yang disimpan di akar, batang, dan daun dengan volume yang jauh lebih tinggi dibanding tanaman komersial lainnya termasuk pohon berkayu.
Dengan demikian sesungguhnya sawit, ketika dikelola dengan ramah lingkungan dan berkelanjutan, memang dapat menjadi komoditas yang diandalkan untuk swasembada energi sekaligus untuk menyerap karbon. Sejauh ini belum ada komoditas komersial lain yang laju fotosintesisnya melampaui sawit.
Penanaman sawit di era saat ini juga sebetulnya tidak mungkin menggeser hutan primer karena hutan primer sesungguhnya sudah tidak ada.
Penanaman sawit umumnya dilakukan di lahan-lahan yang sebelumnya sudah dibuka pada era 80-90-an.
Catatan penting yang harus dilakukan adalah jangan sampai pembukaan lahan sawit dilakukan secara masif sehingga membuat lahan telanjang secara luas.
Pembukaan lahan dapat dilakukan secara bertahap agar keseimbangan lingkungan tidak terganggu.
Inovasi Pertanian
Mungkin inilah tantangan yang perlu dihadapi bersama. Bagaimana memanfaatkan potensi sawit secara maksimal tanpa mengorbankan ekosistem yang menjadi penopang kehidupan? Jawabannya terletak pada inovasi, tata kelola yang baik, dan kolaborasi lintas sektor.
Salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan adalah memaksimalkan produktivitas lahan sawit yang sudah ada.
Dengan lebih dari 16 juta hektare perkebunan sawit yang ada saat ini, fokus pada peningkatan hasil panen dan efisiensi produksi dapat menjadi langkah strategis.
Teknologi pertanian modern dan pendekatan ramah lingkungan harus dioptimalkan untuk mencapai hal ini.
Selain itu, ekosistem gambut yang menjadi salah satu penyerap karbon alami terbesar di dunia juga perlu dijaga. Gambut bukan hanya benteng pertahanan kita dari krisis iklim, tetapi juga aset nasional yang berharga.
Melindungi dan merehabilitasi gambut yang ada dapat mencegah risiko kebakaran hutan yang sering terjadi di musim kemarau.
Dalam konteks transisi energi, pemerintah juga memiliki peluang untuk mengembangkan energi terbarukan lainnya seperti tenaga surya, angin, dan mikrohidro.
Energi alternatif ini dapat menjadi pelengkap yang kuat dalam upaya mencapai swasembada energi tanpa harus terlalu bergantung pada sawit. Dengan pendekatan yang terukur, Indonesia dapat memanfaatkan seluruh potensi sumber dayanya secara optimal.
Penting juga untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya berfokus pada manfaat ekonomi semata, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.
Perluasan lahan sawit, misalnya, harus dilakukan dengan pendekatan inklusif yang menghormati hak masyarakat adat dan memastikan tidak ada konflik lahan yang merugikan.
Presiden Prabowo, dengan pengalaman dan visi strategisnya, tentu memahami betapa pentingnya menjaga keseimbangan ini. Sebagai pemimpin, Presiden memiliki peluang besar untuk meninggalkan warisan yang tidak hanya berkontribusi pada kemandirian energi, tetapi juga melindungi kekayaan alam Indonesia untuk generasi mendatang.
Dalam proses ini, semua elemen masyarakat termasuk pemerintah, akademisi, sektor swasta, hingga aktivis lingkungan, memiliki peran penting untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil benar-benar berkelanjutan.
Diskusi yang terbuka, saran konstruktif, dan semangat kolaborasi adalah kunci untuk menghadapi tantangan besar ini.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh global dalam mengelola sumber daya alam dengan bijak.
Swasembada energi tidak hanya tentang mencapai kemandirian, tetapi juga tentang menjaga warisan lingkungan yang menjadi identitas bangsa ini.
Dengan perencanaan yang matang, visi yang jelas, dan kerja sama yang erat, bangsa ini dapat mencapai tujuan tersebut tanpa mengorbankan ekosistem yang menjadi landasan kehidupan.
Energi masa depan adalah energi yang tidak hanya memanfaatkan potensi hari ini, tetapi juga memastikan keberlanjutan untuk generasi mendatang.
Langkah-langkah pemerintah ke depan, jika dirancang dengan prinsip ini, akan membawa Indonesia ke arah kemajuan yang benar-benar berkelanjutan.
*) Penulis adalah Peneliti di Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).