Jakarta (ANTARA) - Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 46,5 juta metrik ton atau setara dengan 58 persen dari total produksi minyak sawit global, logikanya urusan minyak goreng di Indonesia bukan menjadi masalah besar.
Faktanya, minyak goreng hampir selalu menjadi isu utama di Tanah Air, dengan segudang dinamika yang berbeda dalam setiap kesempatan.
Tidak terkecuali, minyak goreng dengan merek dagang Minyakita, dari Kementerian Perdagangan, yang pernah digadang-gadang sebagai solusi jitu untuk menjamin ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau bagi masyarakat.
Diluncurkan pada 2022, minyak yang merupakan bagian dari kebijakan domestic market obligation (DMO) ini mengusung konsep sederhana, yakni minyak goreng kemasan dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah.
Hanya saja, dalam realitasnya kerap kali penuh dengan dinamika, mulai dari isu kelangkaan, kenaikan harga di atas HET, pengurangan takaran, hingga dugaan permainan distribusi yang terus membayangi.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait di mana letak kesalahan tata kelolanya, dan bagaimana seharusnya perbaikan dilakukan agar minyak rakyat benar-benar bisa diakses dengan harga yang wajar?
Salah satu masalah yang saat ini sedang mengemuka adalah pengurangan takaran oleh sejumlah produsen. Inspeksi mendadak Menteri Pertanian (Mentan) RI Andi Amran Sulaiman menemukan volume minyak rakyat Minyakita tidak sesuai takaran, bahkan banyak kemasan Minyakita berlabel satu liter yang ternyata hanya berisi sekitar 750–800 mililiter.
Tindakan ini jelas merugikan konsumen yang tidak sadar telah membayar lebih untuk jumlah yang lebih sedikit. Umumnya alasan utama praktik ini adalah tekanan biaya produksi yang tinggi.
Harga bahan baku crude palm oil (CPO) yang sempat melonjak memang membuat produsen kesulitan menjual Minyakita dengan harga HET tanpa merugi.
Dengan kata lain, ada ketidakseimbangan antara kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah dengan realitas pasar yang dihadapi industri.
Di sinilah masalah mendasar Minyakita muncul, yakni ketika program ini mencoba mengendalikan harga tanpa mekanisme kompensasi yang cukup bagi produsen, sehingga mereka mencari cara untuk tetap bertahan, termasuk dengan mengurangi takaran atau menaikkan harga di luar ketentuan.
Di sisi distribusi, masalah tidak kalah pelik. Rantai pasok Minyakita cenderung panjang, membuka banyak celah bagi praktik permainan harga di berbagai tingkatan.
Minyakita idealnya mengalir dari produsen ke distributor utama, kemudian ke pengecer resmi, dan akhirnya ke konsumen. Namun di lapangan, minyak goreng ini sering kali berpindah tangan berkali-kali, sebelum mencapai pasar, menyebabkan harga naik melebihi HET.
Mekanisme pengawasan
Pemerintah memang telah menetapkan batas harga jual di tingkat distributor dan pengecer, tetapi belum optimalnya pengawasan memungkinkan para perantara mengambil keuntungan berlebih. Faktanya, harga Minyakita di banyak daerah kerap tembus Rp17.000–18.000 per liter atau jauh dari harga yang seharusnya.
Masalah lain yang tidak bisa diabaikan adalah kelangkaan Minyakita di beberapa daerah, terutama menjelang periode permintaan tinggi, seperti Ramadhan dan Lebaran. Situasi ini sering kali dipicu oleh ketidakseimbangan distribusi.
Beberapa wilayah mendapatkan pasokan berlebih, sementara yang lain kekurangan. Fenomena panic buying juga memperburuk keadaan, dengan banyak konsumen memborong minyak goreng karena takut kehabisan, mempercepat kelangkaan buatan.
Selain itu, ada indikasi praktik spekulasi oknum tidak bertanggung jawab, dimana sebagian pelaku pasar cenderung menyimpan stok Minyakita untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi saat pasokan langka.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dituntut tidak hanya mengandalkan pendekatan regulasi harga, tetapi juga memperbaiki mekanisme distribusi dan pengawasan. Salah satu langkah yang perlu segera dilakukan adalah menyesuaikan kebijakan HET agar realistis dengan kondisi pasar.
Pemerintah dapat mengadopsi sistem harga fleksibel, di mana HET disesuaikan dengan harga CPO dalam periode tertentu. Jika harga bahan baku naik signifikan, HET juga bisa naik dalam batas yang wajar, dan jika harga turun, HET bisa kembali diturunkan.
Cara ini memungkinkan produsen tetap beroperasi, tanpa harus mencari cara-cara yang merugikan konsumen.
Selain itu, rantai distribusi harus diperpendek dengan memangkas jumlah perantara yang mengambil untung di tengah jalan.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menuturkan bahwa kapasitas produksi Minyakita berbasis koperasi maupun usaha mikro lokal perlu diperkuat.
Untuk menjaga agar harga Minyakita tetap stabil dan sesuai harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp15.700 per liter, ia mengatakan bahwa koperasi dan UMKM harus terlibat dalam produksi minyak goreng rakyat, sehingga distribusi tidak dimonopoli perusahaan-perusahaan besar.
Pemerintah juga bisa menunjuk distributor resmi atau bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menyalurkan Minyakita langsung ke pengecer, dengan harga yang telah ditetapkan.
Dengan sistem ini, pengecer mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai ketentuan dan tidak terpaksa menaikkan harga akibat permainan di level distributor. Skema distribusi semacam ini telah diterapkan di beberapa daerah, seperti Riau dan terbukti mampu menekan harga di pasar tradisional.
Pemerintah juga perlu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dalam distribusi Minyakita. Sistem informasi berbasis digital dapat diterapkan untuk melacak pergerakan stok minyak goreng dari produsen hingga ke pasar.
Setiap produsen dan distributor bisa diwajibkan melaporkan data produksi dan penjualan secara real-time, sehingga pemerintah dapat dengan cepat mengidentifikasi titik-titik yang mengalami hambatan atau penyimpangan dalam rantai distribusi.
Pendekatan ini sudah diterapkan dalam beberapa program subsidi pangan di negara lain dan terbukti efektif dalam mencegah penyimpangan.
Studi kasus
Di luar negeri, ada beberapa model tata kelola minyak goreng yang bisa menjadi inspirasi. Malaysia, misalnya, menerapkan sistem subsidi minyak goreng dengan volume yang cukup besar, sehingga pasokan selalu tersedia di pasar dengan harga yang stabil.
Pemerintah Malaysia juga memiliki jaringan distribusi khusus yang memastikan minyak subsidi tidak mudah diselewengkan.
Sementara itu, Argentina menerapkan sistem pajak ekspor yang digunakan untuk menyubsidi minyak goreng domestik, sehingga harga jual tetap terjangkau, tanpa membebani produsen.
India mengambil pendekatan yang berbeda dengan menyesuaikan tarif impor minyak nabati untuk menekan harga dalam negeri, sekaligus menerapkan sistem distribusi berbasis kuota untuk memastikan kelompok berpenghasilan rendah tetap mendapatkan akses terhadap minyak goreng dengan harga wajar.
Belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia perlu mengambil pendekatan yang lebih menyeluruh dalam mengelola Minyakita. Sekadar menetapkan HET, tanpa mekanisme kompensasi yang jelas bagi produsen hanya akan memicu kecurangan dan kelangkaan.
Regulasi harga juga perlu disertai dengan sistem subsidi yang tepat sasaran, distribusi yang lebih efisien, serta pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah penyimpangan.
Pemerintah juga bisa membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data untuk menangani kecurangan dalam proses produksi maupun distribusi Minyakita. Selanjutnya, harus tegas memberantas oknum-oknum yang hanya mementingkan keuntungan dalam memproduksi minyak goreng rakyat tersebut.
Pemerintah, di sisi lain, harus siap melakukan intervensi langsung ketika terjadi gejolak, misalnya dengan operasi pasar atau penyaluran stok cadangan untuk menstabilkan harga.
Peneliti pada Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian memandang pentingnya sistem pengawasan distribusi yang lebih ketat dari produsen hingga ke konsumen akhir, transparansi dalam penentuan harga dan subsidi, serta mekanisme verifikasi kualitas dan kuantitas produk.
Karena itu, sebaiknya sistem pelacakan distribusi (traceability) digital diciptakan untuk memantau pergerakan produk, evaluasi berkala terhadap efektivitas kebijakan dan penyesuaian yang responsif, serta penguatan peran Satgas Pangan dalam monitoring dan penegakan aturan.
Sebab Minyakita memang sudah seharusnya menjadi solusi permanen bagi masyarakat, bukan sekadar respons darurat terhadap krisis minyak goreng yang pernah terjadi.
Untuk mencapai itu, tata kelola program ini harus diperbaiki secara menyeluruh. Jika tidak, Minyakita hanya akan menjadi minyak rakyat dalam nama, tetapi tetap sulit diakses dengan harga yang seharusnya.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah dituntut tidak hanya mengandalkan pendekatan regulasi harga, tetapi juga memperbaiki mekanisme distribusi dan pengawasan. Salah satu langkah yang perlu segera dilakukan adalah menyesuaikan kebijakan HET agar realistis dengan kondisi pasar.
Pemerintah dapat mengadopsi sistem harga fleksibel, di mana HET disesuaikan dengan harga CPO dalam periode tertentu. Jika harga bahan baku naik signifikan, HET juga bisa naik dalam batas yang wajar, dan jika harga turun, HET bisa kembali diturunkan.
Cara ini memungkinkan produsen tetap beroperasi, tanpa harus mencari cara-cara yang merugikan konsumen.
Selain itu, rantai distribusi harus diperpendek dengan memangkas jumlah perantara yang mengambil untung di tengah jalan.
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menuturkan bahwa kapasitas produksi Minyakita berbasis koperasi maupun usaha mikro lokal perlu diperkuat.
Untuk menjaga agar harga Minyakita tetap stabil dan sesuai harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp15.700 per liter, ia mengatakan bahwa koperasi dan UMKM harus terlibat dalam produksi minyak goreng rakyat, sehingga distribusi tidak dimonopoli perusahaan-perusahaan besar.
Pemerintah juga bisa menunjuk distributor resmi atau bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk menyalurkan Minyakita langsung ke pengecer, dengan harga yang telah ditetapkan.
Dengan sistem ini, pengecer mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai ketentuan dan tidak terpaksa menaikkan harga akibat permainan di level distributor. Skema distribusi semacam ini telah diterapkan di beberapa daerah, seperti Riau dan terbukti mampu menekan harga di pasar tradisional.
Pemerintah juga perlu memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan transparansi dalam distribusi Minyakita. Sistem informasi berbasis digital dapat diterapkan untuk melacak pergerakan stok minyak goreng dari produsen hingga ke pasar.
Setiap produsen dan distributor bisa diwajibkan melaporkan data produksi dan penjualan secara real-time, sehingga pemerintah dapat dengan cepat mengidentifikasi titik-titik yang mengalami hambatan atau penyimpangan dalam rantai distribusi.
Pendekatan ini sudah diterapkan dalam beberapa program subsidi pangan di negara lain dan terbukti efektif dalam mencegah penyimpangan.
Studi kasus
Di luar negeri, ada beberapa model tata kelola minyak goreng yang bisa menjadi inspirasi. Malaysia, misalnya, menerapkan sistem subsidi minyak goreng dengan volume yang cukup besar, sehingga pasokan selalu tersedia di pasar dengan harga yang stabil.
Pemerintah Malaysia juga memiliki jaringan distribusi khusus yang memastikan minyak subsidi tidak mudah diselewengkan.
Sementara itu, Argentina menerapkan sistem pajak ekspor yang digunakan untuk menyubsidi minyak goreng domestik, sehingga harga jual tetap terjangkau, tanpa membebani produsen.
India mengambil pendekatan yang berbeda dengan menyesuaikan tarif impor minyak nabati untuk menekan harga dalam negeri, sekaligus menerapkan sistem distribusi berbasis kuota untuk memastikan kelompok berpenghasilan rendah tetap mendapatkan akses terhadap minyak goreng dengan harga wajar.
Belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia perlu mengambil pendekatan yang lebih menyeluruh dalam mengelola Minyakita. Sekadar menetapkan HET, tanpa mekanisme kompensasi yang jelas bagi produsen hanya akan memicu kecurangan dan kelangkaan.
Regulasi harga juga perlu disertai dengan sistem subsidi yang tepat sasaran, distribusi yang lebih efisien, serta pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah penyimpangan.
Pemerintah juga bisa membuka kanal pengaduan publik yang responsif dan berbasis data untuk menangani kecurangan dalam proses produksi maupun distribusi Minyakita. Selanjutnya, harus tegas memberantas oknum-oknum yang hanya mementingkan keuntungan dalam memproduksi minyak goreng rakyat tersebut.
Pemerintah, di sisi lain, harus siap melakukan intervensi langsung ketika terjadi gejolak, misalnya dengan operasi pasar atau penyaluran stok cadangan untuk menstabilkan harga.
Peneliti pada Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian memandang pentingnya sistem pengawasan distribusi yang lebih ketat dari produsen hingga ke konsumen akhir, transparansi dalam penentuan harga dan subsidi, serta mekanisme verifikasi kualitas dan kuantitas produk.
Karena itu, sebaiknya sistem pelacakan distribusi (traceability) digital diciptakan untuk memantau pergerakan produk, evaluasi berkala terhadap efektivitas kebijakan dan penyesuaian yang responsif, serta penguatan peran Satgas Pangan dalam monitoring dan penegakan aturan.
Sebab Minyakita memang sudah seharusnya menjadi solusi permanen bagi masyarakat, bukan sekadar respons darurat terhadap krisis minyak goreng yang pernah terjadi.
Untuk mencapai itu, tata kelola program ini harus diperbaiki secara menyeluruh. Jika tidak, Minyakita hanya akan menjadi minyak rakyat dalam nama, tetapi tetap sulit diakses dengan harga yang seharusnya.