Kota Bogor (ANTARA) - Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI) berdiskusi soal dampak regulasi Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, salah satunya terkait kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.
Diskusi tersebut digelar dalam Forum Diskusi Advokasi Industri bertajuk “Antisipasi Regulasi Industri yang Dapat Menghambat Kelangsungan & Pertumbuhan Industri Sebagai Sawah Ladang, Sumber Mata Pencaharian Pekerja” di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.
Ketua Umum PP FSP RTMM-SPSI Sudarto AS mengatakan, para pekerja pun tidak merasa puas terhadap perumusan PP 28/2024 maupun RPMK, akibat minimnya keterlibatan kalangan pekerja dalam pembuatan regulasi tersebut.
Ia mengatakan, aturan ini dikhawatirkan bakal mengancam Industri Hasil Tembakau, termasuk para tenaga kerja yang menggantungkan mata pencaharian mereka pada industri ini.
“Kami merasa hak kami sebagai pekerja tidak terlindungi dengan baik dan terus-menerus mengajukan protes. Padahal, seharusnya pemerintah melindungi mata pencaharian kami yang telah menjadi sawah ladang tenaga kerja dan sumber mata pencaharian kami selama ini,” ujarnya.
Sudarto juga menindaklanjuti masukan secara verbal, yang telah disampaikan pada saat public hearing dengan masukan tertulis melalui situs resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Sebanyak lebih dari 13.000 masukan telah kami kirimkan melalui situs partisipasisehat untuk menyuarakan penolakan terhadap PP 28/2024 dan aturan-aturan turunannya, termasuk kemasan polos tanpa merk pada RPMK,” kata Sudarto.
la menegaskan, penting bagi pemerintah memperhitungkan dampak kebijakan terhadap tenaga kerja dan sektor terkait dalam setiap regulasi baru.
Sudarto berharap Kemenkes mampu berkoordinasi dan berkonsolidasi lebih baik dengan kementerian terkait lainnya demi hadirnya kebijakan yang seimbang.
“Kami berharap pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dapat memberikan perhatian yang lebih besar terhadap dampak sosial dan ekonomi dari regulasi ini,” ujarnya. (KR-SBN)