"Kami mengalami kesulitan karena proses penyelenggaraan PBG melibatkan tiga dinas berbeda yakni Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (Dinas PUPR), Dinas Perumahan dan Permukiman (Disrumkim), dan DPMPSTSP untuk Kota Depok," kata Rahmat Pujiarto di Kota Depok, Kamis.
Menurut dia, karena bentuk kelembagaan di daerah yang berbeda-beda, Pemkot Depok juga masih mengalami beberapa kesulitan teknis lainnya untuk mengadaptasi.
"Mungkin memang pemerintah pusat memiliki itikad baik untuk menyederhanakan dan menyeragamkan perizinan bangunan di seluruh Indonesia. Namun, baiknya perlu koordinasi lebih intens dengan berbagai daerah. Banyak daerah yang sudah mapan pengurusan perizinannya, dengan sistem informasi yang sudah maju dan penerimaannya juga optimal," katanya.
Ketika ada perubahan PBG, katanya, justru harus banyak beradaptasi kembali dan menghambat pelayanan ke masyarakat.
Ia berharap pemerintah pusat dapat mempercayakan implementasinya kepada pemerintah daerah sehingga tujuan melayani masyarakat dapat terwujud.
Perwakilan dari Bidang Pelayanan DPMPTSP Depok Mia Setyani menyatakan bahwa setelah dilakukan simulasi, terdapat potensi penurunan penerimaan retribusi dari PBG yang berpotensi menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hal tersebut dikatakan oleh perwakilan DPMPTSP Kota Depok ketika Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) saat melakukan pendampingan persiapan implementasi kebijakan retribusi PBG di Pemerintah Kota Depok yang menghadapi sejumlah tantangan dalam implementasi kebijakan retribusi PBG karena berbagai hal, baik regulasi, kelembagaan, maupun teknis pelaksanaannya.
Ketua Tim Pengabdian Masyarakat Departemen Ilmu Administrasi Fiskal UI, Wulandari mengatakan kondisi ini tidak selaras dengan tujuan diundangkannya Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) untuk mendorong peningkatan PAD serta memperkuat desentralisasi fiskal.
Dimana pemerintah daerah berpotensi kehilangan penerimaan retribusinya, tetapi pelayanan kepada masyarakat tetap harus diberikan. Pemerintah daerah menjadi harus bekerja lebih keras mencari sumber-sumber pembiayaan daerah lainnya untuk menjamin kemandirian fiskal yang ditargetkan.
Selain itu berdasarkan hasil diskusi, Pemda akan terbebani karena penurunan PAD sedangkan biaya administrasi yang harus dilakukan untuk implementasi PBG lebih besar dari IMB.
Sementara, masyarakat juga mengalami kendala akibat bertambahnya persyaratan terkait dokumen rencana teknis maupun dokumen perkiraan biaya pelaksanaan konstruksi yang menimbulkan biaya administrasi tambahan.
Sesuai dengan PP Nomor 16 Tahun 2021 sebagai Peraturan Pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang telah diubah sebagian dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, IMB diubah menjadi PBG.
Retribusi yang dipungut atas PBG digolongkan dalam jenis Retribusi Perizinan Tertentu sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).