Jakarta (ANTARA) - Fakultas Hukum Universitas Pancasila (FHUP) menyelenggarakan kuliah umum tentang proses beracara di Mahkamah Konstitusi dengan nara sumber Hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Saldi Isra sebagai pembicara utama, dan Pan Mohamad Faiz , S.H., M.C.L., Ph.D., peneliti senior di Mahkamah Konstitusi.
"Kuliah umum ini diharapkan dapat memberikan amunisi pengetahuan bagi para dosen dan juga mahasiswa sehingga lebih familiar dengan proses beracara di Mahkamah Konstitusi," kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasia, Prof. Dr. Eddy Pratomo, S.H., M.A. dalam keterangannya, Senin.
Mantan Duta Besar R.I. di Jerman itu mengatakan kuliah umum ini diselenggarakan dalam rangka Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) yang diamanahkan kepada Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Salah satu kegiatan PKKM adalah pembentukan Klinik Hukum dimana edukasi untuk mengenalkan permasalahan nyata dalam pencarian kedilan pada berbagai forum, termasuk peradilan konstitusi, perlu diberikan kepada mahasiswa.
Baca juga: Sembilan mahasiswa UP raih medali emas pada ajang RESPEx 2021 di Malaysia
"Saya menyambut gembira kegiatan ini mengingat saat ini mata kuliah hukum konstitusi tengah marak di berbagai fakultas hukum, dan FHUP saat ini sudah memiliki program kekhususan konstitusi di Program Pasca Sarjana," katanya.
Sementara itu Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., M.P.A., menjelaskan perbandingan kekuasaan pengujian undang-undang di Amerika Serikat dan Indonesia.
Baca juga: Panglima TNI tinjau langsung vaksinasi COVID-19 di Universitas Pancasila
"Kekuasaan kehakiman memerlukan kewenangan untuk melakukan koreksi Undang-undang terhadap konstitusi sebagai upaya menerapkan prinsip check and balances, di luar dari lembaga politik selaku kekuasaan legislatif," katanya.
Prof Saldi juga mengatakan bahwa pengujian undang-undang harus dibedakan dengan kasus konkrit seperti penyelesaian sengketa hasil pemilu maupun sengketa hasil pemilihan kepada daerah.
Kasus konkrit memiliki karakteristik yang berbeda dengan pengujian undang-undang, maka dalam menanganinya juga memiliki karakter yang berbeda pula. Hal inilah yang perlu dipahami, khususnya oleh mahasiswa Fakultas Hukum.
Baca juga: Rektor Universitas Pancasila dukung penuh penerapan PPKM darurat
Ia menambahkan bahwa banyak permohonan tidak disertai alasan yang jelas sehingga hakim sering memberi nasihat untuk perbaikan permohonan.
Pan Mohamad Faiz, mengurai lebih lanjut pemaparan Prof. Dr. Saldi Isra, dengan memperlihatkan persentase dari permohonan yang diajukan di Mahkamah Konstitusi.
"Secara kuantitatif memang banyak, namun bukan berarti kualitas undang-undang buruk," katanya.
Ini perlu dipahami karena Indonesia, tidak seperti negara lain, memberikan ruang yang luas kepada setiap warga negara untuk menjadi pemohon.
"Kita juga harus memahami bahwa Indonesia menganut paham The Living Constitution, sebagai konsekuensi dari dinamika masyarakat dan ketatanegaraannya," ujarnya.