Jakarta (ANTARA) - Hujan belum benar-benar pergi ketika rombongan Kementerian Agama memulai perjalanan di Aceh. Lumpur masih mengendap di halaman madrasah, bekas banjir meninggalkan garis kusam di dinding kelas.
Pada Rabu, sekitar 85 kilometer dilalui menuju Pidie Jaya. Di MIN 5 Seunong, ruang-ruang kelas belum sepenuhnya kembali hidup. Buku-buku masih ditumpuk, meja belum tersusun rapi.
Di tempat inilah bantuan pertama diturunkan—sembako, sarung dan mukena, selimut, genset, filter air, hingga daging kurban dan dam haji.
Penyaluran dilakukan melalui kolaborasi Forum Zakat (FOZ) yang terkoordinasi bersama BAZNAS dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Madrasah kembali menjadi lebih dari sekadar sekolah; ia berubah menjadi titik temu, tempat warga saling menyapa dan menguatkan.
Perjalanan berlanjut pada Kamis, sejauh 232 kilometer, menyusuri titik-titik terdampak berikutnya. Di Dayah Cot Meurak, para guru menyambut relawan dengan senyum tipis—senyum orang-orang yang sedang berusaha bertahan. Bantuan kembali diturunkan: kebutuhan ibadah, perlengkapan keluarga, dan logistik dasar.
"Air telah surut, tetapi rasa aman belum sepenuhnya kembali. Percakapan singkat di teras dayah sering kali berakhir dengan kalimat yang sama, “Yang penting anak-anak bisa belajar lagi.”
Jumat, jarak 179 kilometer ditempuh menuju Bireuen. Di Masjid Jami Al Mujahidin Cot Ara dan MIN 43 Bireuen, suasana mulai bergeser dari darurat menuju pemulihan.
Selain paket pangan dan alat ibadah, peralatan sekolah, perlengkapan bayi dan balita, serta ratusan mushaf Al-Qur’an diserahkan. Dapur umum yang dikelola LAZ mengepul sejak pagi, menyajikan ratusan porsi makanan setiap hari.
Forum Zakat turut mengonsolidasikan pembiayaan pembersihan madrasah—pekerjaan sunyi yang jarang terlihat, tetapi menentukan apakah anak-anak bisa kembali ke kelas.
Di Bireuen, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyampaikan pesan yang sederhana, tetapi penting bagi warga.
“Kami datang bukan hanya membawa bantuan, tetapi juga membawa pesan bahwa masyarakat Bireuen tidak sendiri. Kita ingin anak-anak dan keluarga di sini kembali merasa aman dan kuat,” ujarnya.
Bantuan yang disalurkan mencakup kebutuhan ibadah, pendidikan, pangan, hingga perlengkapan bayi dan balita—disiapkan bukan hanya untuk hari ini, tetapi agar warga punya pijakan untuk hari esok.
Sabtu menjadi hari terpanjang. Sekitar 280 kilometer ditempuh menuju Langsa dan Aceh Tamiang. Di wilayah ini, skala dampak terasa nyata. Air bersih menjadi kebutuhan paling mendesak. Puluhan ribu liter air didistribusikan melalui tangki dan water station.
Dapur umum bekerja tanpa jeda. Kasur, selimut, baby kit, genset, layanan kesehatan, hingga pendampingan psikososial hadir di titik-titik pengungsian. Anak-anak duduk melingkar, menggambar dan mengaji—upaya kecil untuk memulihkan rasa aman di tengah sisa bencana.
Perjalanan ditutup pada Ahad, sejauh 116 kilometer, menuju Langkat, Sumatera Utara. Fokus diarahkan pada pemulihan madrasah dan layanan kesehatan masyarakat.
Paket sembako, obat-obatan dasar, perlengkapan ibadah, serta dukungan dana revitalisasi madrasah diserahkan. Di sini, madrasah kembali menunjukkan perannya sebagai jangkar sosial—tempat belajar, berlindung, sekaligus bertahan.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama, Prof. Waryono Abdul Ghafur, menjelaskan bahwa kehadiran zakat dalam situasi bencana bukan sekadar kebijakan teknis.
“Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 66 Tahun 2022 menegaskan bahwa zakat dapat dimanfaatkan tidak hanya untuk bantuan langsung kepada mustahik, tetapi juga untuk kepentingan kemaslahatan umum dan pemulihan pascabencanamulai dari air bersih, sanitasi, hunian sementara, layanan kesehatan, hingga pemulihan sosial-ekonomi,” ujarnya.
Menurut Waryono, fatwa ini menjadi pijakan Kementerian Agama dalam mengonsolidasikan FOZ, BAZNAS, dan LAZ agar zakat, infak, dan sedekah tidak berhenti pada fase darurat, tetapi menguatkan masyarakat dalam jangka lebih panjang.
Selama lima hari penyaluran di Aceh hingga Sumatera Utara, total dukungan yang digerakkan mencapai sekitar Rp50 miliar—terdiri atas Rp37 miliar dari APBN Kementerian Agama dan sekitar Rp13 miliar dari dana zakat, infak, dan sedekah yang dihimpun BAZNAS serta LAZ.
Bantuan itu hadir dalam rupa pangan, dapur umum, air bersih, fasilitas darurat, layanan kesehatan, hingga pemulihan madrasah dan rumah ibadah—menyentuh kebutuhan paling dasar warga terdampak.
Menteri Agama juga secara simbolis melepas relawan lintas lembaga untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah terdampak lainnya. Sebuah penanda bahwa negara tidak berhenti pada seremoni, tetapi terus bergerak.
Bencana di Sumatera mengajarkan bahwa dampak tidak selalu ditentukan oleh besarnya angka, melainkan oleh keberanian hadir dan mendengarkan. Ketika zakat dan wakaf dikelola dalam kerangka kebijakan publik yang berpihak pada kemanusiaan, solidaritas tidak berhenti sebagai empati.
Di tengah perjalanan ratusan kilometer itu, pesan yang sampai ke warga sederhana namun penting: negara datang, berjalan bersama, dan memastikan pemulihan dimulai dari tempat yang paling membutuhkan.
