Jakarta (ANTARA) - Mantan Administrator United Nations Development Programme (UNDP) yang kini memimpin Hamburg Sustainability Conference, Achim Steiner, menegaskan bahwa investasi adaptasi iklim harus menjadi prioritas fiskal Indonesia di tengah meningkatnya kejadian bencana hidrometeorologi dalam beberapa pekan terakhir.
Dalam dalam keterangan yang diterima Rabu, Steiner mengatakan rangkaian banjir, longsor, dan hujan ekstrem yang melanda banyak daerah di Indonesia menunjukkan pola bencana yang semakin intens. Ia menyebut gambar dan laporan kerusakan yang muncul “sangat menyakitkan untuk dilihat”.
Steiner menjelaskan Indonesia sebenarnya memiliki sistem peringatan dini yang “sangat sophisticated”, hasil dari pengalaman panjang menangani tsunami, banjir, kebakaran hutan, dan cuaca ekstrem. Namun, menurut dia, skala dan frekuensi cuaca saat ini membuat kemampuan sistem tersebut kembali diuji.
Ia menekankan bahwa pertanyaan terbesar setelah bencana adalah bagaimana negara membantu masyarakat bangkit dan membangun kembali kehidupan mereka. “Rekonstruksi selalu menjadi tantangan terbesar setelah bencana karena memerlukan investasi besar dan keputusan cepat,” ujarnya.
Steiner menegaskan bahwa kesiapsiagaan bencana tidak bisa lagi dipandang sebagai beban anggaran tambahan, melainkan investasi mendasar yang menentukan keberlanjutan pembangunan nasional. Ia mencontohkan perlunya penguatan infrastruktur komunikasi darurat, mekanisme pendanaan cepat bagi penyintas, serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah yang memegang peran penting dalam sistem desentralisasi Indonesia.
Lebih jauh, Steiner menyebut bahwa investasi jangka panjang dalam adaptasi iklim harus ditempatkan sebagai prioritas fiskal Indonesia, terutama karena risiko besar dihadapi negara kepulauan dengan garis pantai panjang dan infrastruktur vital yang sebagian berada di kawasan rawan.
“Kita tahu apa yang menyebabkan cuaca ekstrem. Risikonya akan semakin buruk, bukan membaik. Tanpa investasi adaptasi, biaya ekonomi dari bencana dapat mencapai miliaran dolar dan memperlambat pembangunan,” katanya.
Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang telah menyalurkan lebih dari 3 juta dolar AS untuk pemulihan dan rekonstruksi. Namun, Steiner mengingatkan bahwa dana tersebut pada dasarnya adalah anggaran yang terpaksa dialihkan dari sektor esensial seperti pendidikan, kesehatan, dan transformasi digital.
Steiner juga menyoroti tekanan fiskal global, defisit pendanaan bantuan internasional, serta beban utang negara berkembang yang memperberat upaya adaptasi iklim. Karena itu, ia mendorong penyelarasan kebijakan nasional dan internasional yang menempatkan ketahanan iklim sebagai prioritas investasi.
Di bagian akhir, Steiner menegaskan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling cepat berkembang dalam manajemen risiko bencana. Meski demikian, ia menyebut peningkatan kapasitas data, pemanfaatan kecerdasan buatan untuk prediksi cuaca ekstrem, serta pembaruan regulasi tata ruang dan konstruksi tetap menjadi kebutuhan mendesak.
“Pembangunan kembali tidak boleh hanya mengembalikan kondisi seperti semula. Infrastruktur harus dibangun dengan standar yang lebih resiliens terhadap kejutan iklim yang akan menjadi bagian dari masa depan,” tegasnya.
