Jakarta (ANTARA) - Bukit-bukit Tapanuli mungkin memang terlalu seksi. Semua yang ditanam bisa tumbuh subur, sehingga banyak manusia tergoda menjamah hingga menelanjanginya. Mereka mengupasnya sedikit demi sedikit, lalu banyak demi banyak, sampai kulit alam itu kehilangan warna hijau yang selama ini menutupinya seperti kain panjang yang diwariskan dari ratusan musim.
Pada akhirnya, manusia pula yang terbaring di bawah tumpukan tanah yang mereka telanjangi sendiri. Tidak ada ironi yang lebih sunyi daripada itu.
Dari kejauhan, tubuh-tubuh bukit yang menjulang itu seperti memendam janji: Janji tanah subur. Janji panen. Janji jalan pintas menuju rezeki yang cepat.
Semua terlihat jelas bagi mereka yang memandang dari balik kalkulator, sehingga keberanian atau kenekatan tiba-tiba terasa masuk akal ketika gergaji mesin mulai meraung setiap pagi. Bukit tidak berkata apa-apa. Hanya diam. Sunyi itu kadang lebih menakutkan daripada amarah.
Kini, ketika menatap lereng-lereng yang retak seperti kulit yang dipaksa mengelupas, siapa pun akan tahu bahwa kesabaran alam telah lama mengering. Tanah yang tadinya tenang menahan hujan, menahan musim, kini tidak lagi punya pegangan. Tidak perlu hujan lebat berhari-hari. Kadang-kadang hanya gerimis satu malam pun sudah cukup membuatnya menyerah. Pergerakannya pelan pada awalnya, seperti orang tua yang berdiri dari duduknya. Lalu tiba-tiba, ia runtuh tanpa suara Tanpa sempat mengeluh.
Tanah tidak membalas. Ia hanya mencari keseimbangannya sendiri. Apa yang hilang darinya akan digantikan oleh sesuatu yang lain, dan apa yang diambil manusia darinya akan suatu hari dikembalikan dengan cara yang tidak pernah diinginkan. Tepian bukit yang dipotong, sungai yang alurnya dijungkirbalikkan, semua itu menunggu waktunya. Longsor bukan kemarahan. Ia hanyalah pengembalian.
Warga Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah, masih mengingat semua itu dengan tubuh yang bergetar. Pada Kamis (25/11) sekitar pukul 08.00 WIB, suara gemuruh dari arah hulu terdengar seperti puluhan batang pohon yang direbahkan sekaligus.
“Molo masa do gunung maralom, unang nami adong mambahen (Kalau gunung akan meletus, janganlah kita yang menyebabkan),” kata Hura (35) seorang warga saat menengok rumah mereka yang sudah rata dengan tanah disapu banjir bandang tanpa memberi waktu bagi siapa pun berlari.
Dari ketinggian, air bah datang bagaikan ombak laut yang membawa balok-balok kayu hutan, bongkahan tanah, batu besar, serta potongan akar yang tercabut seperti urat yang direnggut paksa. Arus itu menghantam apa saja. Kandang ternak, dapur, masjid dan gereja hingga jembatan, semua terseret tanpa bunyi selain dentuman yang membuat tanah bergetar.
“Ai torang tabo pe jolma, alai ndang adong sampe sedetik pun asa marlari,” ujar mama Jalita ditempat yang sama, bercerita bahwa saat itu ia melihat air masuk ke halaman rumahnya dan ia tidak sempat menyelamatkan apa pun.
Pada jam-jam pertama setelah air bah menyapu permukiman, warga mencari anggota keluarga mereka dengan tangan kosong. Lumpur masih hangat, beruap pelan, dan bau kayu basah bercampur dengan aroma tanah yang teraduk. Beberapa orang menggali dengan cangkul, beberapa hanya dengan jari-jari yang gemetar. Mereka menyebut satu nama berulang-ulang seperti doa yang kehilangan arah.
Di antara sobekan kayu dan bongkahan batu, mereka menemukan sandal, potongan kain, foto-foto kenangan. Di tempat lain, warga membentuk barisan, menyisir alur sungai yang berubah, berharap ada tubuh yang tersangkut di batang pohon, atau apapun yang hilang masih dapat kembali dalam bentuk apa pun.
Ketika malam turun, listrik padam. Sepanjang jalan Humala Tambunan --jalan utama di Hutanabolon-- tertutup lumpur setinggi lutut dan batang-batang pohon yang roboh menutup badan jalan. Senter dan lampu dari telepon genggam menjadi satu-satunya cahaya yang menembus gelap pekat.
Setiap langkah mengeluarkan bunyi lengket dari lumpur, dan di kejauhan terdengar runtuhan kecil susulan dari bukit yang belum menemukan keseimbangannya. Bau tanah basah menggantung di udara, tajam dan dingin, seperti pengingat bahwa bencana belum selesai sepenuhnya.
Ketika gelap itu perlahan naik dari lembah menuju lereng, barulah warga menyadari bahwa apa yang mereka alami bukan hanya banjir sesaat, melainkan keruntuhan besar yang berakar jauh ke atas bukit.
Cahaya pagi berikutnya menyingkap bukan hanya rumah-rumah yang hilang, tetapi juga tubuh alam yang koyak dari hulu hingga ke hilir. Dari sinilah cerita bencana itu melebar, menampakkan wilayah terdampak yang jauh lebih luas daripada yang dibayangkan siapa pun malam sebelumnya.
Di Lingkungan IV Hutanabolon, Asidin Sitompul (62), duduk seperti orang yang sedang mengingat sesuatu yang tak pernah ia bayangkan akan ia saksikan. Ia bercerita bagaimana petani karet mulai meninggalkan pohon-pohon tua mereka sekitar sepuluh tahun lalu. Harga getah karet terjun bebas hingga harga terendah, Rp10-12.000 per kilogram dari sebelumnya bisa menyentuh Rp20-27.000 per kilogram.
Asidin juga mengakui saat ini mayoritas petani karet (Hevea brasiliensis) dirundung gelisah karena tak hanya harga yang turun, produktivitasnya pun berkurang. Dari empat hektar kebun karet miliknya, hanya menghasilkan sekitar 2 ton saja. Itu jauh menyusut dari sebelumnya yang bisa mencapai 3-4 ton per tahun. Dengan begitu penghasilan petani jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di situlah kelapa sawit tampak seperti satu-satunya harapan warga yang tersisa. Terpengaruh dari obrolan warung kopi tentang kisah sukses warga kampung sebelah yang jadi kaya raya nan sejahtera karena sawit. Bahkan tanaman bernama latin Elaeis guineensis itu kini mulai menggantikan pohon durian yang dulu tumbuh lebat - memberi penghidupan bagi banyak warga Hutanabolon.
Kondisi itu dibenarkan oleh Polma Pakpahan, Lurah Hutanabolon, Kecamatan Tukka, Tapanuli Tengah.
Polma hanya bisa mengangguk ketika ditanya soal illegal logging dan alih fungsi lahan. Kayu dipotong, dijual diam-diam. Lahan dibuka luas-luas untuk sawit. Ratusan hektare hutan hilang seakan tidak pernah ada, didorong oleh pemodal dari dalam dan luar Tapanuli.
"Banyak pemain-pemainnya di sini pak. Saya tidak bisa berbuat banyak," kata dia saat ditemui ANTARA. Ia bercerita dalam beberapa bulan terakhir pemerintah daerah tengah gencar menyosialisasikan larangan menanam sawit. Namun, bukit-bukit itu sudah kadung dibabat yang akhirnya berbuah longsor.
Menurut Polma, dia sempat mendapati beberapa titik tebing bukit runtuh hingga membentuk danau berdiameter belasan meter yang airnya tidak langsung turun karena tertahan oleh batang-batang pohon raksasa yang tumbang bersama tanah.
Temuan lapangan menunjukkan hal yang lebih gelap lagi. Lokasi terjamah tersebar dari Bukit Malaka hingga Bukit Sigiring-giring. Sampai ke Tapian Nauli, setiap bukit kini memiliki bekas longsoran.
Hutan yang dulu menjadi penjaga berubah menjadi kebun karet, setelah tidak lagi menghasilkan karet ditebang dan dibakar. Sementara warga sudah menyiapkan bibit sawit. Ini sangat mudah ditemui, sawit setinggi 10-15 centimeter terusun rapi dalam polybag di banyak halaman rumah warga. Alih-alih untung justru inilah yang mengundang bencana.
Padahal Hutanabolon itu perbukitan curam lebih dari 25 derajat dan sekaligus dikepung oleh aliran sungai. Itu sudah sangat jelas tidak cocok untuk ditanami kelapa sawit, salah satunya diatur dalam UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Peraturan Pemerintah nomor 38/2011 tentang Sungai, maupun pedoman standar Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Hasil pemetaan, ditemukan di balik perbukitan yang menjulang 500 meter di atas permukaan laut (DPL), terdapat PLTA Sipansihaporas. Di bawahnya mengalir Sungai Aek Sommanggita, Aek Godang, Aek Hopong Na Dao, dan Aek Paru yang mengarah ke Hutanabolon. Namun longsor telah mengubah semua alur ini. Sungai-sungai itu mencari jalan baru, menabrak sawah, merobek jalan utama, menghancurkan rumah, dan menyeret batu sebesar enam meter lebih seperti mainan.
Tiga kilometer dari arah timur laut permukiman di Lingkungan IV Hutanabolon, ada sebuah destinasi wisata air terjun Pondok Bambu yang ikut runtuh kehilangan hulunya. Menurut warga setempat, bukit wisata alam itu sudah gundul sejak tahun lalu, sekarang kondisinya sudah rata dan airnya mengalir tanpa henti ke permukiman warga.
Hari ke-15 pascabencana, angka korban masih diperbarui. Di Hutanabolon saja sepuluh jiwa ditemukan meninggal. Sedikitnya ada 15 orang masih dinyatakan hilang, sebagian besar ada di Lingkungan IV yang sudah tampak seperti latar film perang. Rumah-rumah milik lebih dari 150 keluarga hancur bahkan separuh sudah tak rata dengan tanah. Dalam skala lebih luas, Tapanuli Tengah mencatat 110 orang meninggal, 93 orang hilang, dan ratusan ribu jiwa mengungsi posko darurat.
Tegas sekali bencana ini bukan sekadar tentang curah hujan tinggi karena dinamika atmosfer atau sekadar tanah yang runtuh. Ia adalah cerita panjang akibat ulah manusia itu sendiri yang nekad menelanjangi bukit dari tutupan hutan. Selama keseimbangan itu terus diabaikan, tragedi hanya menunggu giliran untuk kembali turun dari lereng.
Maut itu tidak pernah datang tergesa-gesa. Ia berjalan perlahan seperti embun yang turun tanpa suara. Ia menunggu manusia membuka celah pertama di tubuh bukit yang selama ini diam menjaga rahasianya. Setiap tebasan batang yang tumbang, setiap alur air yang dipaksa berubah arah, adalah undangan yang tidak diucapkan.
Ketika akhirnya maut itu datang, ia tidak mengetuk pintu. Ia datang sebagai tanah yang pecah, air yang menerjang, batu yang meluncur. Ia datang sebagai malam gelap yang memeluk apa pun yang berdiri di bawah bukit. Rumah, jalan, ladang, manusia. Semua tanpa dipilih-pilih.
Setelahnya, aliran sungai rusak hingga air mengalir dari banyak sisi. Bukit berdiri telanjang memamerkan luka yang terlalu lebar untuk ditatap. Dan manusia kembali membangun, mencoba berdamai dengan tanah hutan yang mereka sakiti sendiri. Begitulah maut datang di Tapanuli: Pelan, gelap, lalu menghilang, meninggalkan manusia dengan sebuah pertanyaan apakah semua puas dengan dampak dari kerusakan alam ini?
Di desa-desa yang berdiri di bawah bayangan bukit, cerita tentang “suara tanah” bukan mitos. Retakan halus di tengah malam, geseran kecil yang hanya terdengar oleh mereka yang terbiasa berjaga hingga larut, serta getaran samar kerap mengirimkan bisikan peringatan. Namun, tak semua telinga mau mendengarnya. Suara tanah sering tenggelam oleh deru mesin, oleh kekhawatiran perut hari ini, oleh pikiran-pikiran sederhana yang hanya ingin bertahan hidup dengan cara apa pun.
Hidup di Hutanabolon berjalan seperti air sungai yang tidak pernah menoleh ke belakang. Petani tetap naik ke ladang. Sopir tetap melaju melewati tikungan sempit di tepi jurang. Anak-anak masih bermain di batas rumah yang rapuh, seolah bahaya hanyalah angin lewat dari lembah. Ketika tanah akhirnya merosot, bukit tidak memilih. Ia memeluk apa pun yang ada di bawahnya dalam gelap: rumah, jalan, ladang, manusia.
Setelah itu, seperti siklus yang tidak pernah selesai, manusia kembali. Mereka menggali lumpur, menegakkan papan baru, menumpuk batu untuk fondasi rumah yang sama, di tempat yang sama. Ketabahan dan keterpaksaan tidak lagi bisa dibedakan. Tanah rawan tetap tanah yang mereka miliki. Dan bagi sebagian orang, itu sudah cukup.
Namun tahun ini, gelapnya lebih pekat. Bukan hanya karena hujan ekstrem akibat siklon Senyar, tetapi karena tanah itu sendiri sudah diganggu jauh sebelum bencana datang. Di Kelurahan Hutanabolon, kerusakan itu tampak jelas seperti luka yang tidak sempat dibalut. Hutan perbukitan telah lama dipangkas untuk sawit. Kulit bukit yang dulu tebal kini hanya menyisakan garis-garis tipis yang mengarah pada kehancuran.
