Pangkep (ANTARA) - Matahari masih berwarna keemasan saat sepertiga warga Kabupaten Pangkajene Kepulauan atau Pangkep merapat di Dermaga Maccini Baji, menunggu kapal kayu yang dikenal dengan sebutan "jolloro" maupun kapal feri dengan kapasitas 112 penumpang dan 15 kendaraan roda dua.
Sejumlah orang dewasa di Pankep yang mengenakan seragam pegawai pemerintah, juga wanita paruh baya dengan sejumlah barang belanjaan dari pasar terlihat menepi di bibir dermaga, saat perahu yang akan mengangkutnya merapat satu persatu.
Tidak lama berselang, perahu kayu yang mengangkut belasan, hingga puluhan penumpang, sesuai kapasitasnya, bergerak menuju pulau tujuan masing-masing di wilayah Pangkep.
Salah satu tujuan itu adalah Pulau Saugi, yang merupakan pulau terkecil di antara sekitar 117 pulau di wilayah Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
Luas pulau yang dihuni sekitar 140 kepala keluarga atau 400 jiwa itu adalah 38.173 meter persegi. Pulau mungil itu terletak di gugusan Kepulauan Spermonde dan menjadi bagian dari kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Pangkep.
Pulau yang terletak di Desa Mattiro Baji, Kecamatan Liukang Tupabiring Utara, Kabupaten Pangkep ini tampak berbeda jauh dengan kondisi sebelum ada sentuhan penerangan berbasis tenaga surya.
Sebelumnya, kehidupan warga Pulau Saugi, Pangkep, yang menggantungkan hidup sebagian besar dari hasil melaut, seperti pulau lainnya, penghasilannya hanya tergantung dari kondisi hasil tangkapan yang sangat dipengaruhi dengan kondisi cuaca.
Tak heran jika warga Pulau Saugi, Pangkep, seringkali dihadapkan dengan tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, mulai dari pangan, pendidikan, hingga penerangan di malam hari.
Warga Pulau Saugi, Pangkep, Muh Yusman mengungkapkan sebelum adanya bantuan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dari pemerintah, warga hanya mengandalkan lampu minyak yang jauh dari cukup untuk penerangan. Padahal untuk memperbaiki jaring atau pukat dan untuk kebutuhan anak-anak belajar pada malam hari sangat membutuhkan penerangan yang baik.
Keterbatasan infrastruktur kelistrikan ini membuat kehidupan sehari-hari warga di Pangkep itu menjadi sulit, terutama di musim ombak, ketika nelayan kesulitan menangkap ikan, karena tidak memiliki pekerjaan sambilan.
Ketika pemerintah pusat, melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), saat itu dipimpin Menteri Ignasius Jonan, bantuan listrik melalui Program Pembangkit Listrik Tenaga Energi Baru Terbarukan (PLT EBT), warga pulau di wilayah Pangkep yang hanya memiliki dua unit sekolah, satu unit sekolah dasar (SD) dan satu sekolah madrasah ibtidaiyah (MI), itu, akhirnya mulai menikmati listrik pada 2018.
Kondisi kehidupan warga Pulau Saugi, Pangkep, yang mulai bergeliat itu, setelah menikmati PLTS secara komunal menjadi semakin diperkuat dengan masuknya bantuan PT PLN (Persero), melalui Program Surya Power Solusi untuk Negeri (SuperSUN).
SuperSUN adalah program inovasi dari PT PLN berupa PLTS mini atau mikro untuk rumah tangga atau fasilitas umum di daerah terpencil yang sulit dijangkau jaringan listrik konvensional, termasuk di Pulau Saugi, Pangkep.
Program sebagai wujud hadirnya negara untuk melayani warga ini bertujuan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan memberikan akses listrik yang stabil kepada masyarakat, sehingga meningkatkan kualitas hidup, pendidikan, dan perekonomian.
Menurut Rahmatia, warga Pulau Saugi, Pangkep, yang sebelumnya hanya mengurus rumah tangga, kini ia bersama ibu-ibu nelayan di pulau itu sudah mendapatkan tambahan penghasilan dari hasil kerja kelompok maupun mandiri, dengan membuat kue kering, kerupuk daun kelor, kerupuk kepiting atau kerajinan tangan dari kerang-kerang yang terdampar di bibir pulau.
Aktivitas industri rumah tangga tersebut berjalan dengan baik karena sudah ditunjang dengan tenaga listrik yang lebih lama, sehingga kapan saja bisa memproduksi bahan jualan mereka.
Suasana pembersihan panel surya PLTS di Pulau Saugi di Kecamatan Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. ANTARA/ Suriani Mappong
