Guangzhou (ANTARA) - Pada kota metropolitan Guangzhou yang dipenuhi gedung pencakar langit modern, berdiri megah sebuah kompleks masjid bersejarah yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban Islam di Negeri Tiongkok.
Masjid Huaisheng, yang dipercaya berusia 1.400 tahun, tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga sebagai simbol harmoni antara tradisi dan kemajuan yang telah mengakar dalam masyarakat Tiongkok selama lebih dari satu milenium.
Kompleks bersejarah ini terdiri atas dua bangunan masjid yang satu sama lainsaling melengkapi. Masjid utama yang dibangun pada abad ke-7 Masehi itu berdampingan dengan masjid baru yang dibangun untuk menampung jamaah yang terus bertambah.
Ketika waktu shalat tiba, suara azan yang dikumandangkan oleh muazin dari menara mercusuar masjid utama menggema ke seluruh penjuru kota, memanggil jamaah dari beragam latar belakang etnis. Di masjid baru yang lebih luas, barisan shaf tertata rapi dengan jamaah yang terdiri dari Muslim Hui lokal, pedagang Arab, mahasiswa dari berbagai negara, dan wisatawan Muslim yang sedang berkunjung ke negeri itu.
Keberadaan kompleks masjid ini menjadi tujuan penting Delegasi Indonesia dalam program kunjungan kerja ke Tiongkok yang dilaksanakan pada 22 hingga 26 September 2025.
Delegasi yang terdiri dari empat orang ini memiliki kesamaan unik, di mana tiga di antaranya pernah menempuh pendidikan sarjana di perguruan tingi di Tiongkok, memberikan perspektif mendalam dalam memahami dinamika budaya dan peradaban Islam di negara tersebut.
Masjid Huaisheng bukanlah tempat ibadah biasa. Monumen hidup ini dipercaya dibangun oleh Sa’ad bin Abi Waqqas, salah satu dari 10 sahabat Nabi Muhammad SAW yang dijamin masuk surga, sekitar tahun 651 Masehi pada masa Dinasti Tang.
Kedatangan Sa’ad bin Abi Waqqas ke Guangzhou melalui jalur perdagangan maritim "Silk Road" menandai babak baru penyebaran Islam di Asia Timur, menjadikan Tiongkok sebagai salah satu negara pertama di luar Jazirah Arab yang menerima ajaran Islam secara langsung dari sahabat Nabi.
Salah satu Delegasi Saifus Somad, merupakan seorang praktisi pendidikan bahasa Mandarin dan pegiat media sosial yang aktif mengedukasi tentang bahasa, menyampaikan pengalamannya yang mengharukan ketika berdiri di tempat bersejarah tersebut.
Menurut dia, berdiri di lokasi yang diyakini sebagai titik awal masuknya Islam ke Tiongkok itu memberikan sensasi spiritual yang luar biasa, seolah menyaksikan langsung jejak perjuangan dakwah sahabat Nabi di tanah asing.
“Ini bukan sekadar bicara tentang ratusan tahun sejarah, tetapi hampir 1.400 tahun warisan Islam yang saat ini masih hidup dan berkembang,” ucap Saifus, menggambarkan kedalaman artefak sejarah yang disaksikannya.
Kompleks masjid yang sangat terpelihara, bersih, dan berfungsi optimal sebagai pusat ibadah dan aktivitas komunitas Muslim lokal itu menunjukkan komitmen serius Pemerintah Tiongkok terhadap upaya pelestarian warisan bersejarah.
Pemandu dari pengurus masjid menjelaskan secara detail arsitektur unik Masjid Huaisheng yang memadukan gaya Arab dan Tiongkok, mencerminkan proses akulturasi budaya yang berlangsung secara damai selama berabad-abad.
Meski mengalami beberapa kali renovasi besar pada masa Dinasti Ming dan Qing serta renovasi modern untuk memenuhi standar keamanan dan kenyamanan ibadah, keaslian dan nilai sejarah masjid tetap terjaga dengan baik.
Status perlindungan sebagai situs warisan budaya nasional yang diberikan pemerintah pusat dan daerah menegaskan komitmen Tiongkok dalam melestarikan keragaman budaya dan agama.
Area kompleks masjid yang mencakup tempat ibadah luas, halaman rindang dengan pepohonan berusia ratusan tahun, dan museum kecil yang menampilkan koleksi artefak sejarah Islam di Guangzhou menjadi bukti nyata investasi pemerintah dalam pelestarian warisan multikultural.
Museum tersebut menyimpan naskah-naskah kuno, kaligrafi Arab dan Tiongkok, serta benda-benda bersejarah yang menceritakan perjalanan panjang komunitas Muslim di Guangzhou.
Kunjungan delegasi Indonesia ini melibatkan akademisi dan praktisi, dengan keahlian khusus di bidang budaya dan bahasa.
Selain Saifus Somad, delegasi terdiri dari Novi Basuki (penulis buku dan kontributor rubrik Harian Disway yang mengkhususkan penelitiannya pada sejarah dan perkembangan hubungan budaya Indonesia-Tiongkok). Muhammad Farhan Masnur, akademisi Universitas Negeri Surabaya, dan Rachmat Hidayat, jurnalis Kantor Berita Antara Biro Jawa Timur.
Keberadaan Masjid Huaisheng di jantung kota metropolitan Guangzhou memberikan gambaran autentik tentang praktik kehidupan beragama di Tiongkok.
Delegasi Indonesia menyaksikan langsung implementasi kebijakan pemerintah yang tidak hanya menggambarkan semangat toleransi, tetapi secara aktif melestarikan warisan Islam sebagai bagian integral dari identitas nasional Tiongkok.
Kunjungan bersejarah ini meninggalkan kesan mendalam bagi delegasi yang menyaksikan bagaimana Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari mosaik peradaban Tiongkok.
Pengalaman ini diharapkan dapat memperkuat hubungan Indonesia dengan Tiongkok, khususnya dalam pertukaran budaya dan agama, serta menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya menjaga kerukunan dan melestarikan warisan sejarah untuk generasi mendatang.
Delegasi berkomitmen untuk membagikan dan mendokumentasikan pengalaman berharga ini kepada masyarakat Indonesia. Mereka yakin bahwa kisah toleransi dan pelestarian warisan Islam di Guangzhou dapat menjadi inspirasi bagi upaya membangun dialog lintas agama dan budaya lebih produktif di Asia Tenggara.
