Mataram (ANTARA) - Di sebuah sore yang hangat akhir pekan lalu, suasana di dalam Auditorium Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram terasa khidmat berbalut optimisme.
Ratusan warga Nahdliyyin memenuhi ruangan untuk menyaksikan pelantikan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Nusa Tenggara Barat (NTB) masa khidmat 2025–2030.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, hadir memberi sambutan yang membekas. Dengan suara tegas, ia menyebut NTB sebagai salah satu basis NU paling dinamis di luar Jawa.
Pernyataan ini bukan sekadar pujian. Ia mencerminkan sebuah realitas bahwa NU di NTB bukan hanya bertahan, melainkan tumbuh menjadi salah satu pusat energi baru bagi organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sejarah NU di NTB tidak bisa dilepaskan dari peran pesantren dan ulama karismatik yang menanamkan nilai-nilai Islam ahlussunnah wal jamaah sejak awal abad ke-20. Lombok dan Sumbawa tumbuh dengan jaringan pesantren yang bukan hanya sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga simpul sosial dan ekonomi masyarakat.
Nama-nama seperti TGH Lalu Turmudzi Badaruddin (Datok Bagu) atau TGH Datok Bagu kerap disebut sebagai figur perekat. Mereka tidak sekadar mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menjaga tradisi lokal seperti tahlilan, maulidan, hingga berbagai ritual keagamaan yang berpadu dengan budaya masyarakat. Tradisi inilah yang menjadikan NU di NTB terasa membumi, dekat dengan masyarakat akar rumput.
Pesantren juga memainkan peran penting dalam menjawab kebutuhan zaman. Tidak sedikit pondok pesantren yang kini membuka sekolah formal, perguruan tinggi, hingga rumah sakit. Contoh nyata adalah Yayasan Qomarul Huda di Lombok Tengah yang mendapat hibah tanah dari Pemprov NTB untuk mendirikan rumah sakit. Langkah ini menunjukkan bagaimana NU melalui pesantren bertransformasi menjadi motor pembangunan sosial.
Dinamika baru
Jika akar tradisi menjadi pondasi, maka generasi muda NU adalah motor penggerak. Di NTB, organisasi kaderisasi seperti IPNU, IPPNU, GP Ansor, Fatayat, hingga PMII terus melahirkan energi segar. Mereka tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mengangkat isu kontemporer seperti literasi digital, lingkungan hidup, hingga pemberdayaan ekonomi.
Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas kader muda NU di NTB menonjol pada bidang literasi dan perlawanan terhadap hoaks. Di tengah banjir informasi, mereka hadir dengan kampanye literasi digital untuk menangkal radikalisme dan ujaran kebencian.
Haul Gus Dur yang digelar Milenial Bintang Sembilan di Mataram, misalnya, menjadi wadah aktualisasi kreatif kader muda. Dari lomba literatif hingga diskusi pemikiran Gus Dur, kegiatan itu menunjukkan bahwa NU NTB tidak kehilangan sentuhan intelektual dan sosial di kalangan muda.
Peran generasi ini tidak bisa dianggap remeh. Dengan populasi NTB yang mayoritas berusia produktif, NU memiliki modal demografis untuk melanjutkan tradisi sambil merespons perubahan zaman. Tantangan digitalisasi, globalisasi, hingga ancaman intoleransi justru memperlihatkan bagaimana NU NTB menjadi laboratorium yang dinamis.
NU di NTB tidak berdiri di ruang hampa. Sejak lama ia punya peran dalam kehidupan sosial dan politik daerah. Pesan “titip NU” yang disampaikan TGH Datok Bagu kepada Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menggambarkan eratnya relasi ulama, organisasi, dan pemerintahan.
Sejarah mencatat NU selalu menjadi benteng moderasi. NU berada di garda depan menjaga ideologi Pancasila. Bagi NTB yang plural, peran NU amat vital untuk merawat harmoni antarumat, baik dalam internal Islam maupun dengan komunitas agama lain.
