Mataram (ANTARA) - Seabad perjalanan Muhammadiyah di Nusa Tenggara Barat bukan sekadar catatan waktu, melainkan kisah keteguhan, adaptasi, dan transformasi.
Dari sebuah surau sederhana di Lombok awal abad ke-20 hingga berdirinya Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat) dengan fakultas kedokteran dan mahasiswa asing dari empat negara, Muhammadiyah di NTB adalah bukti hidup, bahwa gagasan Islam berkemajuan bisa bertahan sekaligus berkembang dalam dinamika zaman.
Bayangkan suasana seratus tahun lalu, ketika gagasan pembaruan Islam yang dibawa para tuan guru alumni Haramain berhadapan dengan resistensi sosial. Dakwah Muhammadiyah kala itu kerap ditolak, bahkan dicurigai.
Kini, kondisi berbeda jauh. Gedung-gedung megah berdiri, dari sekolah, rumah sakit, hingga universitas. Ummat di Mataram menjadi simbol nyata bagaimana semangat awal yang sederhana mampu menjelma menjadi kekuatan sosial dan intelektual.
Tulisan ini menelusuri jejak sejarah, tantangan, dan transformasi Muhammadiyah di NTB. Lebih dari itu, mencoba menawarkan refleksi: bagaimana seabad yang telah lewat harus dimaknai sebagai pijakan untuk melangkah ke abad berikutnya.
Muhammadiyah mulai berkiprah di NTB sekitar 1918. Tokoh perintis seperti Tuan Guru H. Harist dan Tuan Guru H. Abdurrahim menjadi jembatan yang memperkenalkan gagasan pembaruan Islam. Mereka membawa semangat purifikasi ajaran agama, sekaligus gagasan modernisasi pendidikan.
Perjalanan awal tidaklah mudah. Penolakan sosial muncul karena masyarakat masih lekat dengan tradisi lokal. Namun, para perintis mampu beradaptasi. Alih-alih melawan, mereka membangun dialog kultural, merintis ranting-ranting kecil, dan mendirikan lembaga pendidikan. Dari situ, benih Muhammadiyah tumbuh, sedikit demi sedikit, mengakar di masyarakat Lombok dan Sumbawa.
Sejak awal, Muhammadiyah meyakini pendidikan sebagai ladang dakwah paling kuat. Tidak hanya dalam bentuk pengajian, melainkan juga sekolah-sekolah formal, madrasah, hingga TK Aisyiyah Bustanul Athfal (ABA).
Di NTB, pendidikan Muhammadiyah berperan penting mencetak generasi awal kader persyarikatan. Kehadiran tuan guru alumni Haramain menjadi penghubung antara tradisi pesantren dengan modernisasi pendidikan. Dari sanalah lahir generasi muda Muhammadiyah yang berorientasi pada keilmuan sekaligus dakwah.
Kini, tonggak itu diteruskan oleh UMMAT yang terus berkembang. Fakultas kedokteran yang diresmikan Mei 2025 adalah bukti keberhasilan transformasi pendidikan Muhammadiyah.
Kehadiran fakultas ini tidak hanya menambah jumlah tenaga medis di NTB, yang masih kekurangan dokter, tetapi juga mengukuhkan UMMAT sebagai pusat layanan publik berbasis ilmu pengetahuan.
Perjalanan Muhammadiyah di NTB tidak selalu mulus. Ada beberapa fase tantangan besar.
Pertama, resistensi budaya lokal yang sejak awal menolak gagasan pembaruan. Meski begitu, Muhammadiyah berhasil bertahan dengan pendekatan kultural dan pelayanan sosial. Kedua, keterbatasan sumber daya. Banyak sekolah Muhammadiyah bertahan dengan sarana sederhana. Namun semangat kader untuk mengajar tanpa pamrih menjadi energi yang membuatnya tetap hidup.
Ketiga, tantangan era digital. Generasi muda NTB hari ini hidup dalam arus deras informasi global. Gaya hidup yang instan dan budaya populer sering kali bertabrakan dengan nilai keagamaan. Muhammadiyah dituntut untuk hadir dengan strategi dakwah yang lebih kreatif, misalnya melalui literasi digital, kewirausahaan sosial, hingga kolaborasi lintas sektor.
Jika seratus tahun pertama adalah fase bertahan dan meneguhkan identitas, maka abad kedua adalah fase transformasi. Muhammadiyah NTB kini menempatkan diri sebagai kekuatan pendidikan, kesehatan, dan sosial.
