Mataram (ANTARA) - Di Nusa Tenggara Barat yang kaya budaya, tradisi, dan sejarah, terdapat kisah panjang tentang agama, pendidikan, dan geliat kehidupan masyarakat yang dapat berjalan beriringan.
Dikenal sebagai “Tanah Seribu Masjid”, NTB bukan sekadar simbol keagamaan, tetapi juga saksi lahirnya gerakan sosial dan pendidikan yang telah mengubah wajah masyarakatnya.
Salah satu gerakan paling berpengaruh adalah Nahdlatul Wathan (NW), organisasi Islam yang lahir dari semangat dakwah dan pendidikan, tapi kemudian meluas menjadi motor penggerak sosial, budaya, dan pembangunan masyarakat di NTB.
Pada 1 Maret 1953, di Pancor, Lombok Timur, Tuan Guru Kyai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan NW. Awalnya, gerakan ini sederhana, berfokus pada pendidikan agama bagi anak-anak dan pemuda setempat.
Namun, semangatnya yang besar untuk mencerdaskan generasi, membumikan ajaran agama, dan memberdayakan masyarakat membuat NW perlahan tumbuh menjadi kekuatan sosial yang signifikan.
Dari madrasah kecil hingga kampus modern, dari pengajian sederhana hingga aksi sosial skala provinsi, NW membuktikan bahwa organisasi lokal dapat menorehkan pengaruh besar yang melampaui batas wilayah.
Seiring perjalanan waktu, NW mengalami dinamika internal yang memunculkan dua pusat kepengurusan besar yakni NW Pancor dan NW Anjani. Keduanya berdiri di Lombok Timur, tapi menjalankan program pendidikan, dakwah, dan sosial masing-masing
NW Pancor tetap memfokuskan diri pada pengembangan Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor dan Universitas Hamzanwadi, melanjutkan kiprah pendidikan dan dakwah di wilayah basisnya. Sementara itu, NW Anjani mengelola IAIH Anjani serta jaringan madrasah di berbagai daerah, menjalankan program pendidikan dan sosial secara mandiri.
Meskipun berbeda kepengurusan, keduanya tetap menjaga semangat yang sama yakni mendidik generasi muda, memberdayakan masyarakat, dan menebar manfaat sosial di NTB.
Sejak awal, pendidikan menjadi fondasi utama NW. Ribuan madrasah dan pesantren lahir di bawah naungannya, tersebar dari Lombok hingga Sumbawa. Madrasah NW mengajarkan Al Quran, fikih, akhlak, sekaligus pelajaran umum seperti bahasa, matematika, dan ilmu pengetahuan.
Institusi pendidikan tinggi NW, seperti IAIH Pancor, Universitas Hamzanwadi, dan IAIH Anjani, berperan sebagai pusat kaderisasi generasi muda. Kampus-kampus ini mengintegrasikan kajian agama dengan ilmu modern: pendidikan, sains, ekonomi, dan teknologi.
Banyak lulusan NW kini menjadi guru, pejabat publik, aktivis sosial, dan pemimpin masyarakat di NTB. Mereka bukan hanya memiliki pengetahuan, tetapi juga karakter dan etos kerja yang kuat, hasil didikan nilai-nilai yang ditanam sejak di pesantren.
Selain pendidikan, NW dikenal karena kiprah dakwahnya yang menyentuh hati masyarakat. Pengajian umum rutin digelar di desa-desa dengan pendekatan sederhana tapi efektif. Dakwah NW selalu berakar pada budaya lokal, sehingga mudah diterima sekaligus memperkuat identitas masyarakat Lombok.
Era digital membawa tantangan sekaligus peluang baru. NW memanfaatkan media modern seperti radio, televisi lokal, dan media sosial--untuk menjangkau generasi muda.
Aktivitas sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kiprah NW. Organisasi ini aktif dalam penanganan bencana, layanan kesehatan, gerakan lingkungan, hingga program kebersihan desa dan penghijauan.
Ketika gempa Lombok 2018 mengguncang, jaringan NW bergerak cepat membuka posko bantuan, menyalurkan logistik, dan mengkoordinasi relawan. Aksi nyata ini menegaskan bahwa dakwah bukan sekadar retorika, tetapi hadir dalam tindakan sosial yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat.
Kolaborasi dengan pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat lain memperluas jangkauan NW. Program beasiswa, pelatihan kewirausahaan santri, dan seminar moderasi beragama menjadi bukti nyata relevansi NW di era modern. Aksi ini menunjukkan bahwa NW mampu menjawab tantangan zaman sambil tetap menjaga akar tradisi dan nilai-nilai luhur masyarakat Lombok.
Baca juga: Seabad Muhammadiyah di NTB
