Jakarta (ANTARA) - Kebijakan tarif global oleh Presiden AS Donald Trump membuat Perdana Menteri Inggris Raya Keir Starmer menyatakan dalam artikelnya di Sunday Telegraph, Ahad (6/4), bahwa "dunia seperti yang kita tahu telah berubah".
Salah satu hal yang paling transformatif adalah kecenderungan gerakan untuk menjauh dari langkah globalisasi yang telah melaju kencang sejak paruh akhir abad ke-20, yang salah satu pendukung globalisasi pada awalnya adalah banyak berasal dari AS itu sendiri.
Sekretaris Utama Kementerian Keuangan Inggris (posisi kedua di Kemenkeu Inggris) Darren Jones juga mengakui bahwa "Globalisasi, seperti yang telah kita kenal selama beberapa dekade terakhir, telah berakhir."
Mau tidak mau atau setuju tidak setuju, berbagai langkah yang telah dilakukan Trump telah mengubah semua itu.
Bagaikan "banjir bandang", kebijakan yang dilakukan AS saat ini ditujukan untuk membalikkan berbagai langkah globalisasi yang telah memiliki fondasi kuat dari gerakan neoliberalisasi yang akarnya sebenarnya berasal dari negara-negara Barat.
Untuk itu, penting bagi berbagai pihak untuk benar-benar mengenali apa saja fondasi yang melandasi Trumpisme, atau sebuah kata rekaan yang berupaya untuk merangkum paham yang berasal dari beragam pemikiran Trump.
Untuk itu, Trump berupaya menaruh berbagai beban kesalahan dalam perekonomian domestik AS bukan kepada faktor internal tetapi akan selalu ditujukan kepada faktor eksternal.
Contohnya dapat dilihat, dalam pengumuman tarif global, Trump menyatakan hal itu karena selama ini AS telah dirugikan oleh berbagai negara sehingga AS perlu "dibebaskan".
Retorika yang selalu menyalahkan "pihak asing" juga terindikasi dari berbagai kebijakan lainnya yaitu membekukan USAID (lembaga donor AS di tingkat internasional), hingga menarik diri dari beragam perjanjian internasional seperti Kesepakatan Iklim Paris serta Kemitraan Trans-Pasifik dengan anggapan semua hal itu merugikan AS.
Elemen lainnya, sebagaimana telah disebutkan pada awal artikel ini, adalah sentimen anti-globalisasi yang ditunjukkan dengan banyaknya kritik terhadap lembaga internasional dan berbagai perjanjian multilateral.
Tidak heran pula bila donor utama Trump, yaitu Elon Musk, juga kerap menelurkan gagasan kontroversial seperti sepakat terhadap pemikiran bahwa AS selayaknya keluar dari PBB.
Ciri khas lain Trumpisme adalah sikap tegas dalam permasalahan imigran, yaitu dengan mendorong kontrol imigrasi yang ketat serta menangkapi berbagai orang (bahkan dalam sejumlah kasus seperti "penculikan") terhadap mereka yang dianggap melanggar aturan imigrasi AS.
Trumpisme juga mengaku pendukung penegakan hukum dan ketertiban, dengan menggambarkan dirinya sebagai pelindung pihak kepolisian dan para veteran. Ironisnya, pemerintahan Trump saat ini banyak mengurangi pos anggaran untuk pelayanan veteran serta mengurangi puluhan ribu pegawai Departemen Veteran AS.
Kemudian, Trumpisme juga dikenal dengan sikap anti-political correctness, atau penyampaian retorika yang memperhatikan kepekaan politik. Menurut mereka, menyampaikan sesuatu dengan apa adanya dan secara lugas (meski secara faktual hal itu bisa diperdebatkan) lebih baik daripada kata-kata eufemisme.
Dengan kata lain, Trumpisme mengabaikan norma politik tradisional yang menjunjung tinggi kesantunan dalam retorika politik seorang negarawan. Menurut para pendukung Trumpisme, lebih baik untuk menggunakan gaya komunikasi yang tidak konvensional bahkan terkadang tidak santun.
Hal tersebut juga membuat munculnya kultus kepribadian terhadap Trump, atau adanya gejala "orang kuat" dalam puncak perpolitikan suatu negara. Uniknya, berbagai gejala "orang kuat" juga kerap muncul di berbagai negara dengan pemerintahan yang selaras dengan Trump.
Dengan kuatnya keperluan untuk memunculkan satu sosok "orang kuat" sebenarnya sangat berbahaya karena dapat memunculkan pemikiran bahwa sang pemimpin itu adalah "personifikasi dari negara itu sendiri", sehingga sang pemimpin itu sendiri juga berpotensi ke depannya tidak lagi mengenali diri sebagai "pelayan rakyat".
Terakhir, Trumpisme juga menampilkan ciri khas keputusan politik sebagai transaksional, yaitu membuat aliansi dan kesepakatan perdagangan bukan berdasarkan nilai utama yang telah mapan, tetapi lebih berdasarkan apakah hal itu menguntungkan (terutama secara ekonomi) bagi pemerintahan Trump dan sejawatnya.
Baca juga: Presiden Prabowo dan PM Anwar bahas dampak kebijakan tarif impor Trump terhadap ASEAN
Baca juga: Trump ajak warga AS untuk kuat bertahan atas dampak tarif demi ekonomi luar biasa