Jakarta (ANTARA) - "Tarif itu bagaikan wiski. Sedikit wiski dengan takaran yang tepat, bisa menyegarkan, tapi jika terlalu banyak, dengan takaran yang salah, bisa membuat kita mabuk berat," kata Senator John Neely Kennedy dari Partai Republik daerah pemilihan Louisiana seperti diwartakan AP belum lama ini.
Kennedy sedang menyentil sejawatnya dari Partai Republik, Donald Trump, yang tengah menjadi presiden AS, yang Rabu 3 April lalu dengan tanpa pandang bulu, mengenakan tarif impor ke puluhan negara yang dapat memulai babak baru perang dagang global.
Dalam hal yang disebutnya "Hari Pembebasan", Trump mengumumkan tarif perdagangan kepada 60 negara, yang disebut berbagai kalangan sebagai hambatan perdagangan terberat yang dijatuhkan AS dalam 100 tahun terakhir. Indonesia dijatuhi tarif 32 persen.
Trump percaya AS adalah korban perjanjian dagang yang buruk. Dia menilai negara-negara lain membanjiri pasar AS dengan barang murah yang membunuh perusahaan-perusahaan Amerika dan menghilangkan lapangan kerja di negara itu.
Dia beranggapan bahwa negara-negara lain mengenakan hambatan dalam bentuk tarif dan pajak impor terhadap produk-produk AS sehingga produk AS tidak kompetitif di negara itu.
Niat Trump sebenarnya mulia. Dia berusaha menghidupkan lagi industri dalam negeri dan melindungi lapangan kerja AS.
Dia mengklaim langkahnya sebagai resiprokal, atau reaksi terhadap langkah yang ditempuh mitra-mitra dagang AS. Nah, bagian ini yang diperdebatkan banyak negara karena mereka merasa tak mengenakan tarif sebesar tarif yang dijatuhkan Trump kepada mereka.
Media-media seperti BBC, New York Times dan Euronews, lalu menyingkapkan bahwa tarif adalah alasan Trump untuk mengatasi defisit perdagangan AS.
Mereka membedah sebuah rumus yang disebut Gedung Putih rumit, tapi ternyata hanya formula sederhana untuk mengatasi defisit. Sejumlah ekonom malah menyebutnya "aneh dan hanya masuk akal di kepala Presiden Trump."
Formula itu ternyata hanya soal jumlah defisit perdagangan AS dari sebuah negara yang dibagi dengan total impor AS dari negara itu, lalu kembali dibagi dua.
Contoh, AS mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar 295 miliar dolar AS. Jumlah barang yang diimpor AS dari China senilai 440 miliar dolar AS. Bagilah 295 dengan 440, maka didapat 67 persen. Setelah itu bagi dua dan bulatkan. Maka, hasilnya adalah 34 persen. Inilah jumlah tarif yang dikenakan AS kepada China.
Trump berusaha keras mengatasi defisit perdagangan AS. Masalahnya, defisit perdagangan tidak cuma diakibatkan oleh tarif impor.
Negatif
Defisit perdagangan, meminjam analisis Dr James Scott dari King's College London, justru akibat ketidakseimbangan antara tabungan dan investasi, ditambah perbedaan dalam pengeluaran pemerintah dan pendapatan pajak.
AS mengalami defisit perdagangan karena menjalankan defisit fiskal yang besar sekali yang jumlahnya mencapai 5,5 persen dari PDB. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang negara-negara kaya lainnya.
Oleh karena itu, jika Trump benar-benar ingin menyeimbangkan neraca perdagangan AS, maka dia harus mengatasi masalah itu.
Beberapa kalangan lain menilai defisit yang dialami AS juga diakibatkan oleh cara perekonomian AS bekerja. Selama ini warga AS berbelanja lebih banyak daripada yang mereka dapatkan, yang membuat AS lebih banyak membeli daripada menjual.
Selama hal itu berlanjut, AS mungkin akan terus mengalami defisit kendati tarif impor kepada mitra-mitra dagang dinaikkan.
Faktnya, AS sudah terlalu tergantung kepada barang impor yang murah, karena industri domestiknya tidak sekompetitif yang lain sampai-sampai perusahaan-perusahaan mereka sendiri seperti Apple dan General Motors merelokasi ke tempat-tempat yang menawarkan biaya produksi lebih murah dan pasar yang berdaya serap lebih luas.
Maka tak heran ketika Trump menaikkan tarif, rakyat AS sendiri yang kena getahnya. Kenapa? Karena yang menanggung tarif adalah importir-importir AS yang kemudian membebankan hal itu kepada konsumen dengan menaikkan harga produk impor.
Dalam logika ini manuver tarif Trump pun malah ditanggapi negatif oleh pasar domestik, yang tercermin dari gejolak di bursa Wall Street, Jumat kemarin.
Baca juga: China tolak kesepakatan TikTok di AS
Baca juga: Medan tempur baru Presiden Prabowo: Tarif Trump dan tekanan asimetris