Jakarta (ANTARA) - Artikel berjudul "Seni berkomunikasi dengan rakyat" yang ditulis Hanni Sofia di Rubrik Telaah LKBN Antara pada 30 Maret 2025 telah menyadarkan publik tentang maksud dari adagium klasik yaitu Vox populi, vox Dei, atau Suara Rakyat suara Tuhan.
Hanni mengungkap bahwa pernyataan itu muncul secara tertulis pertama kali dalam bentuk sebuah surat dari Alcuin, seorang sarjana Inggris yang menjadi kepala Biara Marmoutier yang juga berperan sebagai penasihat Charlemagne, penguasa Eropa pada abad pertengahan.
Jika dilihat secara terpisah, frasa suara rakyat adalah suara Tuhan terdengar seperti seruan awal untuk demokrasi agar penguasa mendengarkan pendapat umum. Namun, pernyataan itu justru ditulis Alcuin dengan maksud bertolak belakang. Ia mendesak kaisar agar orang-orang yang terus mengatakan vox populi, vox dei, tidak selalu harus didengarkan, karena kerumunan dan kerusuhan massa selalu sangat dekat dengan kegilaan.
Pertama, bagaimana mengekstrak suara rakyat yang sangat beragam yang benar-benar representasi suara Tuhan atau kehendak Ilahi? Kedua, bagaimana cara penguasa merangkul rakyat agar tetap mendukung kekuasaannya saat berhadapan dengan kondisi ketika pandangan umum rakyat bukan suara Tuhan?
Artikel ini berusaha menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Pertama, untuk mengekstrak suara rakyat yang sangat beragam yang benar-benar representasi suara Tuhan atau kehendak Ilahi, memerlukan sistem yang memadukan pertimbangan rasional, etika, dan nilai-nilai moral yang sejalan dengan hasil penelitian dan pengkajian paling mutakhir, ajaran-ajaran agama, dan nilai spiritualitas masyarakat.
Kedua, cara penguasa merangkul rakyat agar tetap mendukung kekuasaannya saat berhadapan dengan kondisi ketika pandangan umum rakyat bukan suara Tuhan adalah dengan mengedepankan prinsip transparansi, komunikasi yang jelas, dan pendidikan publik yang membangun kesadaran.
Hanni dalam artikelnya terdahulu dengan sangat baik menjelaskan bahwa pemerintah harus dapat berkomunikasi dengan bahasa rakyat, yaitu bahasa yang dapat dipahami oleh rakyatnya.
Ia mencontohkan bagaimana Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, mendapat dukungan rakyat ketika terjebak dalam depresi besar serta kepercayaan rakyat terhadap pemerintah nyaris habis. Kala itu pengangguran meroket, bank-bank bangkrut, dan harapan memudar.
Roosevelt menjelaskan kebijakan-kebijakan sulit dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan dengan jargon birokratis, bukan juga dengan angka-angka kering, bukan juga dengan kata-kata yang menyakiti rakyatnya, tetapi dengan kalimat yang membuat rakyat merasa didengar dan diperjuangkan. Perlahan, kepercayaan terhadap pemerintah kembali tumbuh sehingga Amerika dapat bangkit. Demikian pula Kaisar Hirohito mengajak rakyatnya bangkit dari kekalahan akibat perang dan membangun bangsanya bahkan dengan bantuan bangsa yang menaklukkan mereka.
Pemerintah dapat mengajak masyarakat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dan memberi ruang bagi mereka untuk menyuarakan pendapat secara konstruktif yang dapat mempererat hubungan antara penguasa dan rakyat. Dengan cara ini, pemerintah dapat tetap memperoleh dukungan, meskipun keputusan yang diambil tidak selalu sesuai dengan pandangan mayoritas.
Pada akhirnya, keselarasan antara suara rakyat, suara Tuhan, dan keputusan pemerintah membutuhkan kesadaran kolektif dan proses reflektif yang melibatkan berbagai pihak terutama para ahli di bidangnya masing-masing. Keberhasilan suatu bangsa tidak hanya diukur dari seberapa besar suara mayoritas didengarkan, tetapi juga seberapa bijaksana suara yang ada dapat disaring, dipahami, dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kebaikan bersama.
*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah Anggota Majelis Amanah DPP GEMA Mathla’ul Anwar