Jakarta (ANTARA) - Ketika ilmuwan asal Belgia dan "bapak" dari industri plastik Leo Baekeland menemukan plastik sintetis pertama di dunia pada 1907, tidak ada yang menyangka penemuan itu akan memunculkan dilema antara manfaat dan dampak yang ditimbulkannya kepada lingkungan dan manusia.
Plastik merupakan material yang dikembangkan secara luas pada abad ke-20, dimulai dengan penggunaan beberapa ratus ton pada 1930-an. Data yang diolah Global Change Data Lab dari Inggris memperkirakan pada periode 1950 dan 2017 sebanyak 9,2 miliar metrik ton plastik dibuat. Data yang sama memperkirakan pada 2023 sekitar 400 juta metrik ton plastik diproduksi di seluruh negara.
Isu itu juga dihadapi Indonesia. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperlihatkan sampah plastik menjadi penyumbang kedua terbesar komposisi timbulan sampah nasional setelah sisa makanan.
Data SIPSN memperlihatkan, pada 2024 terdapat 31,2 juta ton sampah yang dihasilkan dari 286 kabupaten/kota, dengan 19,73 persen di antaranya adalah sampah plastik. Tidak semuanya berhasil diolah untuk daur ulang, masih banyak yang bocor ke lingkungan dan berdampak kepada ekosistem tidak hanya di kota-kota besar tapi juga perairan di pulau-pulau kecil.
Hal itu dapat terlihat dari hasil temuan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang menemukan mikroplastik di perairan Kepulauan Seribu tidak jauh dari Jakarta. Mikroplastik adalah potongan plastik berukuran mikro yang dihasilkan dari penguraian plastik tidak sempurna, biasanya berukuran kurang dari 5 milimeter sampai dengan 1 mikron.
Hasil uji dari sampel yang dikumpulkan dari Pulau Untung Jawa, Pulau Onrust, dan Pulau Cipir pada 22 Februari menemukan fakta seluruh sampel yang diuji mengandung serpihan mikroplastik. Mikroplastik tidak hanya ditemukan di perairan yang mengitari pulau-pulai itu, tetapi juga di permukaan daun tanaman hingga swab kulit yang dilakukan ke masyarakat setempat.
Rafika Aprilianti selaku Kepala Laboratorium Ecoton, organisasi nirlaba yang bergerak dalam studi konservasi lahan basah dan anggota dari AZWI, mengatakan bahwa temuan itu memperlihatkan bahwa pencemaran plastik sudah menyebar tidak hanya mencemari laut dan sungai tapi juga di tubuh manusia.
Penemuan mikroplastik di ekosistem perairan itu memiliki dampak berantai. Dimulai dari partikel mikroplastik masuk ke dalam satwa laut yang kemudian dikonsumsi manusia dan kemudian menumpuk di tubuh. Mikroplastik juga dapat masuk ke tubuh manusia melalui cara lain, termasuk lewat pernapasan dan paparan terhadap benda berbahan plastik yang mengalami pelapukan.
Mikroplastik juga dapat masuk ke tubuh melalui salah satu kegiatan sederhana, yaitu minum teh. Penelitian yang dilakukan Ecoton pada lima brand teh celup juga menemukan bahwa kantong teh celup dapat melepaskan mikroplastik ke dalam teh karena ada proses pemanasan.
Dia menyebut komposisi jenis plastik mempengaruhi ketahanan plastik terhadap faktor eksternal seperti panas dan gesekan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat penguraian yang menghasilkan mikroplastik.
Pemerintah menyadari betul dampak mikroplastik dan korelasinya dengan pengelolaan sampah, sehingga penanggulangan sampah plastik menjadi salah satu fokus dari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Pemantauan sudah dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, dilakukan oleh Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) yang berada di bawah KLH.
Dengan hasil pemantauan pada 2024 di 24 provinsi memperlihatkan kelimpahan mikroplastik di permukaan air berada pada rentang 0,122 partikel/m3 sampai dengan 4,880 partikel/m3. Sedangkan untuk sampel sedimen pantai, kelimpahan mikroplastik ditemukan pada rentang 16,667 partikel/kg sampai dengan 700 partikel/kg.
Fakta tersebut menjadi perhatian Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq yang mengatakan pihaknya kini tengah melakukan sejumlah langkah untuk menangani persoalan sampah. Hal itu juga mengingat tingkat pengelolaan sampah di Tanah Air pada 2023 baru mencapai 39,01 persen, dengan 60,99 persen belum terkelola dengan baik dan berpotensi bocor ke ekosistem termasuk ke perairan.
Secara khusus Hanif menyoroti data Sekretariat Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN-PSL) yang menunjukkan pada 2023 capaian pengurangan sampah plastik ke laut telah mencapai 41,68 persen, atau setara dengan pengurangan 359.061 ton sampah plastik yang bocor ke laut. Kondisi itu masih di bawah target 2023 yaitu 50,80 persen dan masih terdapat gap 28,32 persen untuk mencapai target 70 persen pada 2025.
Keberadaan sampah laut dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan dan makhluk hidup, tak terkecuali manusia. Lebih spesifik, meningkatnya sampah plastik di laut menimbulkan perubahan iklim, kerusakan alam, dan polusi yang berpotensi menjadi bencana besar seperti risiko kesehatan manusia akibat paparan mikroplastik dan terancamnya lebih dari 800 spesies laut dan pesisir akibat memakan plastik dan terjerat sampah plastik.
Baca juga: Pertamina Patra Niaga ubah sampah plastik jadi produk bernilai ekonomis
Baca juga: Bali kaji usulan pembuatan perda pembatasan penggunaan plastik sekali pakai