Jakarta (ANTARA) - Di era 60an ketika menjadi Presiden Amerika Serikat (AS), John F Kennedy pernah berkata "Loyalty to my party ends when loyalty to my country begins"- "Loyalitasku kepada partai berakhir ketika loyalitasku kepada negara mulai".
Kalimat itu seyogyanya mengakhiri kebimbangan mereka, para kepala daerah yang pekan lalu sempat dihadapkan pada simalakama antara loyalitas pada partai atau memenuhi panggilan negara.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memang sempat menginstruksikan para kepala daerah yang diusung partainya untuk tidak mengikuti acara pembekalan atau retret yang digelar pada 21–28 Februari 2024 di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah.
Hal itu termuat dalam surat resmi PDIP bernomor 7294/IN/DPP/II/2025 yang ditandatangani Ketua Umum Megawati Soekarnoputri, Kamis (20/2).
Adapun instruksi tersebut muncul setelah mencermati dinamika politik nasional yang terjadi pada hari yang sama, khususnya setelah penahanan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun apapun itu, dalam kancah politik, setiap keputusan strategis sering kali menyimpan pesan ganda yang kerap melampaui apa yang terlihat.
Di satu sisi keputusan sejumlah kepala daerah yang pada akhirnya tidak hadir dalam retret di Akmil itu bukan sekadar bentuk ketidakhadiran, banyak yang menyebut keputusan itu sebagai sebuah pernyataan pembangkangan terhadap hierarki kepemimpinan yang telah ditetapkan.
Dengan demikian, tindakan hal yang dilakukan oleh sejumlah pejabat bukan semata-mata merupakan respons terhadap perintah internal, melainkan juga merupakan penolakan simbolis terhadap apa yang dianggap telah menyimpang dari idealisme kenegaraan.
Dalam kondisi ideal, pimpinan seharusnya membuka ruang dialog dan musyawarah yang dapat mengakomodasi aspirasi berbagai elemen, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar kenegaraan.
Suatu kepemimpinan yang berwibawa akan menyelaraskan kepentingan internal partai dengan dinamika negara, sehingga setiap keputusan yang diambil memiliki legitimasi tidak hanya di mata partai, tetapi juga di mata rakyat.
Jika tidak, maka politik praktis yang menyatu dengan tujuan kelompok akan terus menimbulkan perpecahan, mengikis kepercayaan publik, dan pada akhirnya melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Realitas ini menuntut suatu refleksi mendalam, di mana setiap pemimpin, baik di tingkat partai maupun negara, harus mampu mengedepankan integritas sebagai modal utama.
Keterbukaan, dialog konstruktif, dan komitmen terhadap kepentingan umum harus dijadikan pedoman utama agar politik tidak semata-mata menjadi arena pertarungan ego dan kekuasaan.
Mengapa retret menjadi penting? Ini tentu agar kepala daerah yang baru terpilih dapat benar-benar memahami tata kelola pemerintahan dan pelaksanaan kebijakan dengan lebih baik.
Retret sendiri juga bertujuan untuk membekali para pemimpin dengan pemahaman mendalam tentang tugas dan tanggung jawab mereka, serta membangun sinergi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendgari) Bima Arya Sugiarto menegaskan, retret pembekalan kepala daerah untuk meningkatkan kapasitas kepemimpinan.
Analis komunikasi
Redaksi menambahkan isi artikel ini dengan pandangan dari seorang analis komunikasi politik Hendri Satrio.
Hensa, panggilan akrab Hendri Satrio, membeberkan dua potensi dampak yang sekiranya bisa ditimbulkan terhadap situasi negara dan politik saat ini.
Pertama, surat instruksi dari Megawati kepada kadernya yang menjadi kepala daerah berpotensi membuat kepala daerah usungan PDI Perjuangan itu tidak tegak lurus dengan Presiden RI Prabowo Subianto.
Mungkin saja, surat larangan itu berpotensi membuat kepala daerah usungan PDI Perjuangan tidak tegak lurus dengan Pemerintah karena surat edaran tersebut.
Hensa mengatakan bahwa surat larangan tersebut berpotensi membuat para kepala daerah asal PDI Perjuangan pindah partai politik dengan mengatasnamakan rakyat.
Kepala daerah itu, kata dia, kemungkinan akan merasa pula bahwa mereka bisa menjadi kepala daerah lantaran rakyat yang memilihnya.
PDI Perjuangan apakah sudah menghitung kemungkinan kalau kepala daerah yang diusung oleh mereka berpotensi keluar demi memperjuangkan rakyat yang memilih mereka? Itu yang patut jadi sorotan.
Ia mengingatkan kepada PDI Perjuangan seyogianya harus berhati-hati dalam menyikapi situasi ini agar tidak menimbulkan persepsi keliru di tengah masyarakat.
Jangan sampai disalahartikan oleh rakyat bahwa PDI Perjuangan sedang melakukan perlawanan terhadap negara atau tidak mengikuti arahan Kepala Negara.
Untuk itu, dia memandang perlu PDI Perjuangan memberikan penjelasan lebih perinci terkait dengan maksud dan tujuan dari surat instruksi larangan para kepala daerahnya mengikuti retret itu.
Kepala daerah itu sudah menjadi pejabat publik, dipilih oleh rakyat, bukan sebagai kader partai. Jadi, kalau ada surat dari partai yang melarang mereka hadir di acara negara, menurut saya, PDI Perjuangan harus menjelaskan lebih lanjut," katanya.
Menurut dia, penjelasan dari PDI Perjuangan itu perlu untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa langkah partai tersebut tak dipandang sebagai bentuk konfrontasi terhadap pemerintahan yang sah.
Oleh karena itu, dia menggarisbawahi pentingnya membedakan peran kepala daerah sebagai pejabat publik dengan status mereka sebagai kader partai.
Mereka diundang sebagai kepala daerah yang dipilih rakyat, bukan sebagai kader partai. PDI Perjuangan harus jelaskan ini supaya tidak ada salah paham.
Di samping itu, Hensa juga meminta Pemerintah memberikan penjelasan terkait dengan sifat acara retret tersebut demi mencegah kebingungan di tengah masyarakat karena hingga kini belum ada kejelasan apakah acara tersebut bersifat wajib atau tidak.
Menarik pula dalam pengamatan Dr. Ahmad Atang, MSi dari Universitas Muhammadiyah Kupang yang menilai sikap Megawati yang menginstruksi kepala daerah dari PDIP menunda keikutsertaannya dalam retret sebagai bentuk penggembosan dan pembangkangan terhadap program Presiden Prabowo Subianto. Langkah ini diambil sebagai reaksi partai terhadap penahanan Hasto Kristiyanto oleh KPK.
Jika dilihat dari korelasinya, tidak ada benang merah antara penahanan Hasto Kristiyanto dengan kegiatan kepala daerah di Magelang Jawa Tengah. Narasi kriminalisasi terhadap Hasto sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan seolah-olah semua ini atas desain kekuasaan.
Padahal, penahanan itu merupakan murni kasus hukum. Bila Hasto tidak bersalah tentu ada ruang untuk membela diri, bukan mengacaukan program kerja pemerintah. Dengan sikap PDIP seperti ini, secara nyata telah menyerang pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Direktur Pascasarjana UMK itu, PDI Perjuangan tidak arif dalam memetakan persoalan yang menimpa kadernya sendiri.
Oleh karena itu, posisi kepala daerah yang diusung PDIP menjadi dilematis antara mengikuti instruksi atau mengikuti retret. Di sini, PDIP telah mempersulit keadaan di tengah polemik penahanan Hasto Kristiyanto.
Dia mengatakan PDIP harus menyadari bahwa kepala daerah yang diusung tidak semua merupakan kadernya. Apalagi dalam pilkada, ada koalisi sehingga akan terjadi tarik menarik kepentingan dalam partai koalisi yang mengusungnya.
Karena itu, kepala daerah yang telah dilantikan oleh Presiden, harus menentukan pilihannya, yakni mengikuti partai atau presiden. Jika memilih dan tidak memilih diantara dua kepentingan tentu punya risiko politik bagi kepala daerah.
Baca juga: Menkeu Sri Mulyani dorong kepala daerah berinovasi biayai pembangunan di daerah
Baca juga: Wamendagri sebut dalam waktu dekat ada kepala daerah bergabung retret
Baca juga: Gubernur Jabar sebut retret kepala daerah untuk Indonesia maju