Jakarta (ANTARA) - Dalam dunia yang semakin didominasi oleh arus informasi digital, tantangan misinformasi dan disinformasi menjadi ancaman serius bagi demokrasi, dengan membangun integritas informasi dan literasi media dalam masyarakat demokratis.
Untuk menjawab tantangan ini, Post Course Workshop: The Challenge of Mis and Disinformation Fostering Information Integrity and Media Literacy in Democratic Societies diadakan sebagai wadah bagi para pemikir, akademisi, dan praktisi untuk mendiskusikan solusi nyata dalam membangun masyarakat yang lebih paham dan tahan terhadap manipulasi informasi.
Kegiatan ini menghadirkan dua pembicara utama Dr. Devie Rahmawati, Prof. Alimatul Qibtiyah, dimoderatori oleh Assoc Prof Angela Romano from the Queensland University of Technology, yang berbagi pengalaman dan wawasan mereka sebagai penerima Australia Awards Indonesia (AAI) tahun 2019 dalam program Democratic Digital Resilience yang diselenggarakan di Queensland University of Technology (QUT) Brisbane dan Sydney.
“Di era digital saat ini, kemampuan memilah dan memahami informasi adalah kunci untuk menjaga demokrasi tetap sehat. Misinformasi dan disinformasi bukan hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga mempengaruhi pengambilan keputusan publik. Oleh karena itu, membangun literasi media yang kuat menjadi tugas kita bersama," kata Devie Rahmawati, dalam keterangannya, Minggu.
Devie bersama alumni Australia, Dirgayuza Setiawan, mendirikan serta mengelola sekolah-sekolah IB Berasrama di Indonesia
Australia Awards Indonesia: Perjalanan Akademik yang Menginspirasi
Pada tahun 2019, 750 kandidat terpilih untuk mengikuti seleksi Australia Awards Indonesia, melewati berbagai tahap seleksi ketat mulai dari administrasi, wawancara, hingga penyusunan proposal penelitian.
Dari jumlah tersebut, hanya 25 kandidat yang akhirnya diterima, dan 23 orang yang diberangkatkan ke Australia.
“Kami berasal dari berbagai latar belakang profesi, instansi, usia, suku, agama, dan ras yang berbeda-beda, namun memiliki benang merah yang sama yaitu kepedulian terhadap demokrasi dan digitalisasi.
Apa yang membuat program ini bersifat transformatif
Pertama, Menghimpun Berbagai Kalangan
Program ini menyatukan akademisi, praktisi, dan peneliti dari berbagai bidang. Perbedaan bukan menjadi hambatan, melainkan jembatan untuk berbagi ide, gagasan, dan kolaborasi lintas sektor.
Kedua, Interaksi yang Intensif & Mendalam. Durasi program yang cukup panjang memungkinkan terbentuknya interaksi yang lebih mendalam, baik secara formal maupun informal. Ini menjadi fondasi kuat untuk melahirkan jejaring kerjasama jangka panjang.
Ketiga, Budaya Feedback yang Konstruktif. Dalam banyak budaya kerja di Indonesia, feedback sering kali dianggap sebagai kritik negatif. Namun, program ini mengajarkan bahwa memberikan dan menerima feedback yang jujur tetapi membangun adalah kunci pertumbuhan profesional dan intelektual.
Memperluas Wawasan melalui Interaksi Global*
Tidak hanya berinteraksi dengan sesama peserta, para penerima beasiswa juga memiliki kesempatan untuk berjejaring dengan para pemikir, akademisi, dan pembuat kebijakan di Australia, membuka cakrawala baru dalam memahami bagaimana negara lain menangani tantangan misinformasi dan disinformasi,” ujar Devie Rahmawati, associate professor Program Vokasi Universitas Indonesia.
Realisasi Dampak: Dari Australia ke Indonesia
Devie Rahmawati menyampaikan bahwa sekembalinya ke Indonesia, mereka tidak hanya membawa pengalaman akademik, tetapi juga menerjemahkannya ke dalam aksi nyata yaitu
Pertama. Lebih dari 100 webinar telah diselenggarakan bersama-sama alumni di berbagai forum, yang membahas berbagai topik tentang demokrasi digital dan literasi media.
Kedua. Lebih dari 50 buku dan modul literasi digital diterbitkan, digunakan oleh berbagai lembaga pendidikan dan komunitas.
Lima publikasi akademik nasional dan internasional diterbitkan, memberikan kontribusi ilmiah dalam kajian demokrasi digital.
Ketiga, Bersama-sama menjadi konsultan bagi lembaga pemerintahan dan swasta, membantu mereka dalam strategi komunikasi digital yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Strategi untuk Membangun Ekosistem Informasi yang Sehat
Dalam sesi diskusi, Devie, yang juga pengurus pusat PBSI ini, menyoroti strategi konkret yang dapat diterapkan untuk membangun ekosistem informasi yang lebih sehat dan demokratis:
Pertama, Menghapus Ego Sektoral
Baik di dunia akademik, pemerintahan, maupun sektor swasta, ego institusional sering menjadi hambatan dalam membangun solusi kolaboratif. Diperlukan kemauan untuk berbagi jaringan, program, dan keahlian agar kolaborasi dapat berjalan efektif.
Kedua, Menginisiasi Program yang Konkret. Tidak cukup hanya berbicara tentang pentingnya literasi digital—diperlukan inisiatif nyata seperti program pelatihan, advokasi kebijakan, dan kampanye publik yang mendidik masyarakat tentang bahaya misinformasi dan disinformasi.
Ketiga, Menjadikan Literasi Digital sebagai Pilar Demokrasi. Di era digital, literasi digital bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi pilar utama dalam menjaga kualitas demokrasi.
Oleh karena itu, integritas informasi harus menjadi perhatian utama dalam pendidikan, regulasi media, dan kebijakan publik.
Membangun Masa Depan Demokrasi Digital yang Lebih Kuat
Melalui Post Course Workshop ini, semangat kolaborasi dan keberlanjutan dari program Australia Awards Indonesia semakin dianjurkan.
Literasi media dan integritas informasi bukan hanya tanggung jawab akademisi atau pemerintah, tetapi tugas bersama seluruh elemen masyarakat. Mari selalu bergerak bersama, melawan misinformasi dan membangun ekosistem informasi yang lebih sehat dan bertanggung jawab.
Bangun integritas informasi dan literasi media dalam masyarakat demokratis
Oleh Feru Lantara Minggu, 16 Februari 2025 14:07 WIB

Dr. Devie Rahmawati ketika menjadi pembicara Post Course Workshop: The Challenge of Mis and Disinformation Fostering Information Integrity and Media Literacy in Democratic Societies (ANTARA/ Foto: Istimewa)