Jakarta (ANTARA) - Pasar saham Indonesia mengalami tekanan besar pada Selasa, 18 Maret 2025, ditandai dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) terjun bebas yang memicu trading halt atau penghentian sementara perdagangan yang otomatis diterapkan saat indeks turun terlalu dalam.
Ini adalah pertama kalinya sejak Maret 2020, ketika pandemi COVID-19 mengguncang pasar, IHSG kembali mengalami circuit breaker seperti ini.
Selama sesi perdagangan, indeks mengalami tekanan jual yang intens dan sempat menyentuh level terendah intraday di 6.011 poin sebelum akhirnya ditutup turun 248,55 poin atau 3,84 persen di level 6.223.
Hampir semua sektor mengalami pelemahan, dengan sektor teknologi menjadi yang paling terpukul, turun 9,77 persen. Total nilai transaksi mencapai Rp19,22 triliun dengan volume 29,29 miliar lembar saham dalam 1,54 juta transaksi.
Fenomena ini bisa dikatakan sebagai Black Swan Tuesday, merujuk pada kejadian langka dan tak terduga yang mengguncang pasar secara tiba-tiba, bak kemunculan black swan atau angsa hitam yang sulit dipercaya karena biasanya angsa berwarna putih
Meskipun bursa saham global relatif stabil, IHSG justru mengalami kepanikan luar biasa. Ada beberapa faktor utama yang menjadi pemicu, seperti, terjadi tekanan jual berlanjut selama empat hari berturut-turut, saham DCI Indonesia terkena auto reject bawah (ARB) selama tiga hari berturut-turut, sementara laporan keuangan Chandra Asri Pacific yang kurang memuaskan menambah kekhawatiran pasar.
Kemudian, Goldman Sachs menurunkan peringkat saham Indonesia dari 'overweight' menjadi 'market weight' dan obligasi negara tenor 10-20 tahun menjadi 'neutral' karena kekhawatiran risiko fiskal. Morgan Stanley juga menurunkan peringkat saham Indonesia dari 'equal weight' menjadi 'underweight'. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa lembaga pemeringkat global seperti S&P dan Moody’s juga akan mengikuti langkah serupa.
Ada pula soal munculnya rumor bahwa dua menteri ekonomi akan mengundurkan diri memperburuk ketidakpastian, menciptakan gelombang kepanikan di kalangan investor ritel dan institusional.
Sentimen negatif ini memicu efek domino di pasar. Investor asing mulai keluar dari pasar dalam jumlah besar, sementara investor ritel panik dan melakukan aksi jual massal.
Ketika sentimen pasar mencapai titik ekstrem, sering kali itu menjadi tanda bahwa titik terendah sementara semakin dekat.
Apakah ini merupakan peluang atau justru awal dari tren penurunan yang lebih panjang? Jawabannya masih tergantung pada reaksi pasar dalam beberapa hari ke depan. Jika tekanan jual terus berlanjut, kepanikan bisa berkembang menjadi kejatuhan yang lebih dalam.
Apalagi Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi juga telah menyampaikan bahwa pihaknya sedang menyiapkan berbagai kebijakan (policy) sebagai upaya menjaga stabilitas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Jika situasi politik semakin tidak menentu dan kondisi global memburuk, tekanan terhadap IHSG bisa bertahan lebih lama.
Namun, jika pasar mampu menemukan titik keseimbangan baru dan kepercayaan investor pulih, maka pemulihan bisa terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
Baca juga: IHSG diprediksi variatif di tengah pasar