Balikpapan (ANTARA) - Siapa sangka, kawasan hutan bambu yang dulunya terbengkalai menjelma menjadi oasis penghidupan bagi masyarakat setempat. Itu tidak lain berkat semangat membangun yang tumbuh di tepian Waduk Manggar, Balikpapan.
Tujuan wisata itu muncul berkat kegigihan dan semangat gotong royong di tengah himpitan pandemi yang meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi beberapa tahun lalu.
Itulah Bamboe Wanadesa, sebuah ekowisata yang tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga kisah inspiratif tentang kebangkitan dan solidaritas.
Perjalanan menuju Bamboe Wanadesa melewati jalan Soekarno Hatta Kilometer 13, Balikpapan, kemudian menyusuri Jalan Jaya Giri sejauh 2,5 kilometer hingga tiba di Kampung Pati. Di ujung kampung, hamparan bambu menjulang tinggi, menyapa langit dengan anggun, menjadi penyejuk mata.
Di bawah naungan bambu-bambu yang rapat, dermaga kayu terhampar menyambut para pengunjung. Kapal-kapal bambu beratapkan seng merah, siap mengantarkan mereka menyusuri keindahan Waduk Manggar. Suara riak air dan kicauan burung pun berpadu harmonis, ampuh sebagai penawar pikiran yang merindukan ketenangan.
Bamboe Wanadesa bukan sekadar destinasi wisata biasa. Ia lahir dari semangat juang masyarakat Kampung Pati yang pantang menyerah di tengah badai pandemi.
Ketika PHK massal melanda dan roda perekonomian lumpuh akibat pandemi, mereka tidak tinggal diam. Lahan seluas tujuh hektare yang terbengkalai, disulap menjadi sumber penghidupan baru.
Murdianto, inisiator Bamboe Wanadesa, mengenang masa-masa sulit tersebut. "Bambu-bambu ini ditanam sejak 2014 oleh P3E Balikpapan, tapi baru tahun 2020 kami mulai menggarapnya menjadi tempat wisata," ujarnya.
Bamboe Wanadesa menawarkan berbagai daya tarik yang memikat. Pengunjung dapat menikmati suasana asri di bawah rindangnya bambu, berfoto di sudut-sudut yang instagram benget, atau menyusuri Waduk Manggar dengan perahu yang juga bisa.
"Tarif naik kapal hanya Rp10.000 per orang," kata Ferdianto, pengelola Bamboe Wanadesa.
Uang tersebut mereka gunakan untuk perawatan kapal dan membersihkan waduk dari gulma.
Bamboe Wanadesa bukan hanya tentang keindahan alam, tetapi juga tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan konsep "dari warga untuk warga", setiap rupiah yang dihasilkan dikelola kembali untuk pengembangan destinasi dan kesejahteraan warga.
"Pendapatan kami bisa mencapai Rp20 juta per bulan," ungkap Ferdianto.
Dana tersebut digunakan untuk perawatan fasilitas, biaya listrik, kebersihan, dan pengembangan destinasi. Bamboe Wanadesa juga menyediakan lapak-lapak bagi UMKM dengan tarif sewa yang terjangkau, sehingga menciptakan efek domino positif bagi perekonomian lokal.
Tak luput, turis asing juga pernah berkunjung ke Bamboe Wanadesa, selain untuk berlibur juga melakukan penelitian terhadap manfaat bambu terhadap manusia.
Meskipun telah meraih prestasi, Bamboe Wanadesa tidak berhenti berinovasi. Mereka terus berupaya meningkatkan kualitas layanan dan fasilitas, serta menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk KPHL.
"Kami berharap ada dukungan lebih lanjut dari pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata, agar Bamboe Wanadesa dapat berkembang lebih pesat lagi," kata Ferdianto.
Dengan tiket masuk yang terjangkau, Rp8.000, termasuk parkir, pengunjung dapat menikmati keindahan alam dan berbagai fasilitas.
Saung-saung dengan berbagai ukuran dapat disewa untuk bersantai, mulai dari Rp 25.000 hingga Rp 200.000. Tak hanya itu, Bamboe Wanadesa juga menjadi surga bagi para pelaku UMKM. Dengan membayar Rp 10.000 per lapak, mereka dapat menjajakan berbagai produk, mulai dari makanan hingga kerajinan tangan.
Baca juga: Yuk, ke TMII ada Festival Imlek 24 Januari - 2 Februari 2025
Baca juga: Yuk, ke Kota Tua Ampenan