Jakarta (ANTARA) - Sejak diperkenalkan oleh penulis Serbia-Amerika Serikat Steve Tesich dalam sebuah esai pada tahun 1992, istilah post-truth dengan cepat merayap ke tengah-tengah masyarakat dan menjadi fenomena yang meresahkan.
Di era post-truth atau pascakebenaran, informasi palsu tanpa fakta membanjiri ruang publik dan membentuk persepsi. Akibatnya, kabar berbasis kenyataan "tenggelam" di tengah keriuhan dan, akhirnya diabaikan.
Di tengah kegandrungan manusia akan media sosial, post-truth makin bersinar terang seperti api yang disulut bensin. Andai tidak dihadapi secara serius, masyarakat akan terjebak di dunia kebohongan.
Jika dibiarkan begitu saja, informasi tidak berdasar dapat menimbulkan kerugian besar di kehidupan berbangsa dan bernegara. Kabar palsu, bohong atau hoaks berpotensi menciptakan kericuhan sosial parah yang bisa menghilangkan banyak nyawa dan menggoyahkan kestabilan negara.
Di Indonesia, Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menjadi ujung tombak "peperangan" terhadap informasi hoaks ini.
Sejak Agustus 2018 sampai akhir tahun 2023, Komdigi yang sebelumnya bernama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah menangani 12.547 berita atau konten hoaks di laman (web) dan media digital lain.
Selain langsung berhadap-hadapan dengan konten hoaks, Pemerintah juga rutin memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui beragam kampanye dan mengajak semua elemen terkait termasuk pers turut serta menanggulangi penyebaran informasi hoaks tersebut.
Tidak hanya itu, Pemerintah pun membentuk satuan khusus untuk mengalahkan informasi hoaks seperti Satuan Tugas Antihoaks yang ditugaskan Kominfo untuk Pemilu Damai 2024, termasuk di Pilkada 2024.
"Saya sudah instruksikan ke Satgas Antihoaks agar tidak usah dibeda-bedakan mana disinformasi, misinformasi, mala-informasi. Langsung saja semua diberikan stempel hoaks biar publik gampang nangkep-nya.” ujar Menteri Kominfo periode 2023--2024 Budi Arie Setiadi.
Peran pers
Pemerintah menyadari bahwa perang terhadap berita hoaks harus dilakukan secara masif dengan melibatkan seluruh pihak. Secara khusus, Komdigi mendorong keterlibatan aktif dari pers.
Kerja pers di bidang jurnalisme tidak akan pernah melenceng dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Artinya, aktivitas pers yang dilindungi undang-undang dipastikan bebas dari informasi hoaks.
Pasal 6 undang-undang itu menyatakan bahwa salah satu peran pers nasional adalah "mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar". Selain itu, pers juga diwajibkan "memperjuangkan keadilan dan kebenaran".
Wartawan, sebagai insan pers, diikat pula dengan Kode Etik Jurnalistik, di mana pada Pasal 1 menyatakan bahwa "wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat dan tidak beriktikad buruk" serta "menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik".
Untuk mengawasi kerja pers, sesuai UU, dibentuklah satu lembaga yakni Dewan Pers. Sampai Juni 2024, ada sekitar 1.800 media yang terverifikasi Dewan Pers, 1.015 di antaranya media daring atau siber, 442 cetak, 377 televisi, dan 18 radio.
Permintaan Pemerintah supaya pers ikut dalam setiap upaya mengalahkan kabar-kabar hoaks diterjemahkan dalam beberapa cara.
Perum LKBN ANTARA, misalnya, menjalankan "Jaringan ANTARA Cegah Hoax" (JACX) mulai 2018. Dengan JACX, ANTARA menundukkan kabar hoaks dengan memberikan pencerahan kepada masyarakat.
Sebagai Kantor Berita Indonesia, ANTARA mendukung penuh Deklarasi Istanbul 2023 yang disepakati dalam Konferensi dan Pertemuan Ke-51 Dewan Eksekutif Organisasi Kantor Berita se-Asia Pasifik (OANA). Inti deklarasi itu adalah pemberantasan disinformasi atau hoaks dan perlindungan kerja wartawan.
"Upaya-upaya itu telah membuktikan ANTARA berperan sebagai jaringan untuk memerangi disinformasi," kata Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Akhmad Munir.
Di luar ANTARA, media jurnalistik lainnya melakukan hal serupa pula. Media-media tersebut melabeli rubrik antihoaks di kanal masing-masing dengan nama bervariasi seperti "Cek Fakta", "Periksa Fakta", dan lain-lain.
Media-media arus utama tersebut akan membendung kabar bohong yang datang silih berganti di media sosial.
Pers, yang dalam pekerjaannya mengedepankan keberimbangan dengan metode cover both side atau memberikan ruang yang sama untuk semua pihak di dalam produk jurnalistik, ikut bertanggung jawab dalam menyelamatkan masyarakat dari informasi palsu yang dangkal.
Kelompok masyarakat
Agar perlawanan terhadap berita hoaks makin masif, Pemerintah menjalin kemitraan pula dengan kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap isu tersebut.
Ada beberapa organisasi masyarakat yang berhubungan erat dengan Komdigi untuk menghadapi hoaks, antara lain, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Mafindo, misalnya, rajin melakukan riset soal hoaks di Tanah Air. Organisasi yang berdiri tahun 2016 itu menyatakan, pada tahun 2023, ada 2.330 kabar hoaks beredar di Indonesia, dengan publikasi terbanyak ada di media sosial YouTube (44,6 persen), Facebook (34,4 persen), TikTok (9,3 persen), Twitter atau X (delapan persen), WhatsApp (1,5 persen), dan Instagram (1,4 persen).
Untuk mengetahui hoaks atau tidaknya informasi, Mafindo mengembangkan aplikasi yakni Hoax Buster Tools yang tersedia di sistem operasi Android dan iOS.
Mafindo bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) juga membuat laman CekFakta.com sejak tahun 2018 untuk melawan kabar hoaks.
Sementara itu, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) membuat aplikasi "Turn Back Hoax" untuk memberikan kepastian kepada pengguna internet apakah kabar yang mereka dapatkan hoaks atau tidak.
Penetrasi kabar hoaks yang makin meresahkan idealnya memang mesti dijawab dengan kolaborasi. Usaha bahu membahu antara Pemerintah, pers, dan organisasi masyarakat seharusnya dapat menjadi senjata ampuh.
Kita tidak dapat membiarkan informasi hoaks menjadi raja informasi. Era post-truth wajib dihentikan demi masa depan bangsa Indonesia yang lebih sehat dan beradab.
Editor: Achmad Zaenal M