Surabaya (ANTARA) - Ada banyak alasan yang membuat masyarakat enggan berobat ke fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah yaitu puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Alasan yang paling menonjol karena ramai dan antre.
Bagi warga yang memiliki uang berlebih biasanya memilih berobat ke pelayanan kesehatan (faskes) swasta karena selain tidak antre, juga menganggap peralatan di faskes pemerintah kurang lengkap dan canggih.
Namun bagi warga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah atau prasejahtera mau tidak mau harus mengantre di puskesmas maupun RSUD. Untuk itu, pemerataan faskes di seluruh Indonesia merupakan tantangan bagi pemerintah.
Dari hasil studi The Indonesian Institute, bahwa masih ada beberapa masalah besar terkait layanan kesehatan Indonesia. Masalah ini meliputi persoalan infrastruktur, distribusi dan pendanaan.
Hingga saat ini, masih banyak layanan kesehatan di Indonesia yang masih belum merata dan kurang memadai, terutama di puskesmas dan RSUD. Sebagian besar yang memiliki fasilitas memadai hanya tersedia di kota-kota besar.
Persoalan tersebut terjadi karena banyak masyarakat yang tinggal di daerah pelosok yang sulit menjangkau pelayanan kesehatan. Ditambah lagi dengan distribusi tenaga kesehatan memadai yang masih belum merata. Begitu juga kendala lain berkaitan dengan minimnya pendanaan.
Kini pemerintah melakukan upaya-upaya dalam memperbaiki pelayanan kesehatan agar lebih optimal dan berkesinambungan. Terutama dalam perbaikan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui rasionalisasi manfaat program, penerapan satu kelas rawat dan penyederhanaan tarif layanan.
Baca juga: RS Bhayangkara Surabaya kembangkan layanan berbasis metaverse
Pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2023 di Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menekankan pemerataan akses kesehatan di seluruh wilayah Indonesia melalui transformasi kesehatan.
Terdapat enam pilar transformasi kesehatan yang harus dijalankan. Pilar pertama adalah transformasi layanan primer yang fokus pada penyediaan layanan kesehatan primer yang terstandardisasi dan terintegrasi.
Pada pilar ini ditekankan untuk memperkuat layanan dasar, yaitu pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), pos pelayanan terpadu (Posyandu), dan Puskesmas pembantu (Pustu).
Saat ini terdapat sekitar 10.500 Puskesmas di seluruh Indonesia. Sementara itu, jumlah Posyandu yang merupakan kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat mencapai 300.000. Selama ini Posyandu menjadi ujung tombak layanan kesehatan.
Pilar kedua, transformasi layanan rujukan yang fokus pada penyediaan layanan kesehatan yang mudah diakses oleh masyarakat. Melakukan reformasi di rumah sakit seluruh Indonesia agar bisa melayani empat penyakit mematikan, yaitu jantung, stroke, kanker, dan ginjal.
Pilar ketiga, transformasi ketahanan sistem kesehatan fokus pada kemandirian obat dalam negeri dan penyediaan tenaga cadangan kesehatan.
Pilar keempat, transformasi pembiayaan kesehatan. Pemerintah ingin mengembalikan khitah BPJS Kesehatan sebagai asuransi sosial. Transformasi ini dilakukan dengan tujuan pemerataan, kemudaan aksesibilitas bagi masyarakat, dan keberlanjutan alokasi pembiayaan.
Kemudian pilar kelima, transformasi SDM kesehatan yang fokus pada penyediaan SDM kesehatan yang berkualitas dan merata. Kemenkes mendorong untuk mencetak lebih banyak dokter spesialis dan dan sub spesialis dengan melakukan tambahan fakultas kedokteran.
Pilar keenam transformasi teknologi kesehatan yang fokus pada penyediaan layanan kesehatan yang presisi. Kemenkes membuat aplikasi Satu Sehat yang mensinergikan seluruh data dan informasi yang dimiliki, mulai dari rumah sakit, klinik, apotek, hingga laboratorium. Kemenkes selalu mendorong perkembangan teknologi dan digitalisasi di sektor kesehatan.
Menurut Menkes, ada dua filosofi transformasi kesehatan, yakni meningkatkan kualitas dan akses kualitas layanan kesehatan ke masyarakat.
Dalam upaya percepatan pelaksanaan transformasi kesehatan, semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan layanan kesehatan yang lebih baik. Sebab, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, dibutuhkan dukungan dan bantuan dari seluruh komponen bangsa.
Baca juga: Indonesia kekurangan dokter spesialis
Good Governance
Prinsip "Good Governance" atau pemerintahan yang baik merupakan prinsip yang diakui oleh beberapa negara dan lembaga internasional sebagai dasar untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang baik melalui beberapa prinsip.
Di Indonesia, prinsip Good Governance diadaptasi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Penerapan prinsip Good Governance juga menjadi landasan penyelenggaraan negara di bidang Kesehatan. Hal itu tampak pada beberapa pengaturan hukum mengenai pelayanan kesehatan.
Kewajiban untuk melakukan pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat, tetap menjadi tanggung jawab pemerintah.
Keberhasilan pembangunan diberbagai bidang telah meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran akan hidup sehat yang berarti akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan kesehatan akan pelayanan dan pemerataan yang mencakup tenaga, sarana, dan prasarana baik jumlah maupun mutu.
Rumah sakit pemerintah sebagai salah satu sarana kesehatan harus memiliki upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, agar kebutuhan masyarakat akan hal-hal dasarnya dapat terpenuhi. Peningkatan mutu tidak hanya meliputi jumlah tenaga dan fasilitas kesehatan tapi juga kualitas tenaga kesehatan yang diterima oleh penerima (jasa) layanan kesehatan harus profesional.
Masyarakat sebagai penerima rasa tersebut berhak untuk mendapatkan pelayanan yang efisien, efektif, transparansi dan akuntabilitas.
Pemerataan faskes
Salah satu upaya melakukan pemerataan fasilitas kesehatan dilakukan di Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan membangun rumah sakit berbasis kawasan. Jika selama ini ada dua RSUD milik pemerintah kota setempat hanya berkutat di wilayah Surabaya pusat, utara dan barat, maka kini sudah dibangun untuk kawasan timur dan selatan.
Dua rumah sakit yang sudah ada yakni RSUD Dr M Soewandhie di kawasan pusat dan utara dan RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) di kawasan barat.
Peletakan batu pertama (ground breaking) pembangunan RSUD di kawasan Surabaya Timur dilakukan pada Kamis, 5 Oktober 2023. RSUD Surabaya Timur tersebut dibangun di area sekitar 5,3 hektare. Sementara untuk lahan pembangunan tahap awal, yakni 1,7 hektare. Letaknya di Jalan Medokan Asri Tengah, Blok RL V, Kelurahan Kalirungkut, Kecamatan Rungkut, Surabaya.
RSUD Surabaya Timur nantinya akan menjadi rumah sakit dengan layanan unggulan Ibu dan Anak. Nilai kontrak pembangunan sekitar Rp494 miliar. Sedangkan jangka waktu pelaksanaan pembangunan 360 hari kalender. RSUD ini ditargetkan rampung pada akhir September 2024.
Luas bangunan rumah sakit sekitar 37 ribu meter persegi yang terdiri dari dua tower dan podium. Masing-masing tower bangunan itu terdiri dari 8 lantai dan berkapasitas total seluruhnya 257 tempat tidur (bed).
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menyatakan, RSUD Surabaya Timur itu sebagai wujud dan komitmen pemerintah kota melakukan pemerataan pelayanan kesehatan. Pembangunan rumah sakit itu sekaligus melengkapi keberadaan dua rumah sakit sebelumnya, yakni RSUD Dr M Soewandhie dan RSUD BDH.
Pembangunan rumah sakit tersebut diharapkan bisa tepat waktu dan tepat guna. Hal ini sebagai bagian dari upaya menyediakan akses layanan kesehatan yang cepat dan berkualitas. Nantinya, rumah sakit tersebut setelah beroperasi benar-benar mampu meningkatkan kesehatan warga Kota Surabaya.
Ketika ada warga yang tengah sakit dapat terlayani sebaik-baiknya dan biaya tidak jadi hambatan agar masyarakat terpenuhi haknya mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas demi kesejahteraan hidup yang lebih baik. Dengan didirikannya rumah sakit ini, ikhtiar menuju pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di bidang kesehatan bisa terwujud.
Mewujudkan layanan kesehatan yang lebih baik di Surabaya berbasis kawasan
Oleh Abdul Hakim Jumat, 6 Oktober 2023 17:05 WIB