Jakarta (ANTARA) - Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menilai perubahan sistem pemilu dari sistem terbuka ke sistem tertutup tidak otomatis menghilangkan politik uang atau money politic. Menurutnya, salah kaprah jika berpandangan politik uang akan hilang dengan sistem proporsional tertutup.
“Pandangan dengan sistem tertutup, politik uang akan hilang, saya kira salah kaprah. Jangan-jangan tidak juga menjamin politik uang akan berkurang. Bisa jadi cuma sekedar pindah saja dari pemilih ke pengurus parpol,” ujar Hadar di Jakarta, belum lama ini.
Hadar menegaskan persoalan pemilu termasuk politik uang tidak langsung terkait dengan sistem pemilu. Menurut dia, persoalan utama dari pemilu justru terletak pada partai politik. “Demokrasi berbiaya mahal lebih karena pertama ketidakberhasilan parpol mendapatkan keseluruhan calon mereka sendiri cukup berintegritas,” kata Hadar.
Selanjutnya, faktor ketidakmampuan parpol mengontrol dan memastikan para calonnya berpemilu sesuai aturan. Selain itu, sistem pengawasan dan penegakan hukum pemilu yang masih lemah. “Ditambah lagi pengaturan dan pertanggungjawaban dana kampanye yang masih longgar,” ungkap Hadar.
Menurut Hadar, tidak ada jaminan sama sekali sistem proporsional tertutup dapat mengatasi persoalan permasalahan pemilu di Indonesia. Perubahan sistem pemilu ini hanya menjamin sentralitas dan dominasi pengurus partai akan semakin kuat.
“Repotnya kelemahan sistem tertutup akan muncul. Akuntabilitas wakil rakyat akan lebih kuat ke parpol daripada ke konstituennya atau masyarakat di dapil. Caleg yang disiapkan dan diharapkan terpilih oleh parpol belum tentu menjadi pilihan masyarakat,” tutur Hadar.
Kelemahan lain sistem proporsional tertutup, lanjut Hadar adalah para caleg sulit menjadikan kampanye sebagai ajang menunjukkan kualitas, dan sebaliknya bagi masyarakat sulit mengenal calon wakil rakyat melalui kampanye. Selain itu, parpol cenderung menekankan atau memfokuskan pada isu-isu level parpol.
Memberantas politik uang
Politik uang adalah masalah pelik dalam upaya memodernisasi sistem politik di Indonesia, apalagi penyakit ini telah menyebabkan ongkos politik semakin mahal di Indonesia. Jalan pintas sering dilakukan kalangan elit dan politisi menggunakan jalur politik uang untuk menjadi pejabat, walaupun akhirnya tidak jarang dari mereka yang menjadi “koruptor” untuk segera mengembalikan biaya politiknya yang mahal saat kontestasi politik.
Dan, menjadi koruptor tetap “bermartabat” di Indonesia karena selain hukumannya ringan (tidak sampai potong tangan bahkan potong leher seperti yang diatur dalam syariat Islam), juga koruptor yang telah 5 tahun bebas dari penjara, masih diperbolehkan mengikuti pesta demokrasi berikutnya, sesuai keputusan “mblinger” Mahkamah Konstitusi dengan alasan tidak ingin mematikan hak demokrasi para koruptor. Kok mengherankan ya?.
Mengapa MK tidak memperhatikan akibat ulah koruptor, utang negara membengkak, degradasi moral, perizinan semakin mahal, pendidikan terbengkalai dan lain-lain yang itu juga merupakan indikator HAM orang lain yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara, namun dirusak koruptor, namun negara hanya setengah-setengah saja mengatasi korupsi?.
Salah satu cara untuk memberantas politik uang adalah semua ongkos politik terkait pelaksanaan Pilkada dan Pilpres dari pendaftaran calon sampai pencoblosan sebaiknya dibiayai negara, sehingga semua warga negara boleh mendaftarkan diri tidak harus menjadi orang kaya terdahulu. Syarat ini masuk akal, namun hukuman terhadap oknum pejabat dan politisi yang melakukan korupsi pasca aturan ini diberlakukan harus dihukum mati, pasti banyak yang meresistensi.
Aturan hukum yang memberikan sanksi terhadap Parpol dan pelaku money politics kurang tegas, termasuk diduga adanya institusi negara yang main money politics saat Pilpres, termasuk aturan Bawaslu RI untuk menindak tegas juga perlu diperkuat, termasuk netralitas aparat penegak hukum juga diperkuat, karena banyak pelanggaran dan money politics saat Pilpres 2019 tidak ditindaklanjuti secara serius atau setidaknya dibiarkan seperti adanya beberapa kepala daerah di Sumatera Barat, termasuk oknum beberapa Camat di Sulsel yang mendukung salah satu calon juga tidak ditindak tegas oleh Bawaslu dan aparat penegak hukum.
Berdasarkan kajian Litbang Kompas, jumlah caleg muda berusia 40 tahun ke bawah yang lolos ke DPR periode 2019-2024 turun dibandingkan pada periode 2014-2019. Kajian ini sudah mernperhitungkan putusan Mahkamah Konstitusi atas perselisihan hasil pemilu, khususnya DPR pada 6-9 Agus-tus 2019. Hanya 72 orang dari 575 anggota DPR atau 12,5 persen tergolong muda. Persentase ini turun dibandingkan pada periode 2014-2019 yang mencapai 92 orang dari 560 anggota DPR atau 16,4 persen. Selain itu, dari 72 caleg muda terpilih pada periode 2019-2024, sebanyak 50 persen diduga merupakan bagian dari politik kekerabatan. Bisa jadi hal ini juga merupakan dampak negatif adanya politik uang tersebut.
Politik uang juga menyebabkan para pemilih ibarat “buah simalakama” selama masa pemilihan. Dalam kamus istilah Cambridge Dictionary, frase "lesser of two evils" diartikan sebagai "the less unpleasant of two choices, neither of which is good" atau dua pilihan yang sama-sama kurang menyenangkan dan sama-sama buruknya. Dalam konteks politik, seorang pemikir politik asal Jerman Hans Morgenthau memperkenalkan konsep lesser of two evils sebagai sebuah wacana moral ketika dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang sama-sama jahat atau imoral. Menurutnya, hal terbaik yang dapat dilakukan manusia ketika dihadapkan pada calon pemimpin yang sama-sama buruk adalah dengan meminimalisasi potensi imoralitas politik itu menjadi lebih besar. Caranya yakni dengan memilih kandidat yang dapat dikategorikan sebagai lesser evil, alias lebih tidak jahat dibanding kandidat lainnya. Cara ini dipandang efektif untuk menganulir potensi imoralitas politik yang jauh lebih besar. (53/*).
*) Penulis adalah, Pemerhati politik Indonesia.
Memberantas Politik Uang
Senin, 2 Maret 2020 20:33 WIB
Politik uang juga menyebabkan para pemilih ibarat “buah simalakama” selama masa pemilihan.