Denpasar (ANTARA) - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah usai, namun evaluasi atas proses panjang tersebut masih diperlukan.
Bukan untuk mengganggu hasil, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Bali mencoba memotret perilaku pemilih sebagai pembelajaran ke depan.
Penelitian bersama Universitas Udayana dan Universitas Pendidikan Nasional di Denpasar mengungkap bahwa peran sosialisasi penyelenggara menempati posisi pertama alasan seseorang menggunakan hak pilih pada 27 November 2024.
Namun sayangnya, keberhasilan sosialisasi untuk datang memilih dan sosialisasi untuk tidak menoleransi politik uang tidak linier, sebab 58 persen pemilih di Bali mewajarkan politik uang.
Penelitian Universitas Udayana yang dikomandoi akademisi ilmu politik Kadek Dwita Apriani membongkar fakta dari 800 sampel sebanyak 42,4 persen pemilih menggunakan hak pilihnya karena melihat atau mendengar sosialisasi penyelenggara.
Dalam perjalanan Pilkada Bali dan kabupaten/kota, peran ini tidak hanya dipikul KPU provinsi, namun juga jajaran di kabupaten/kota, badan adhoc di akar rumput, hingga instansi lain yang terlibat dalam penyelenggaraan.
KPU merangkum upaya-upaya yang mereka lakukan selama ini berupa pertemuan tatap muka, kegiatan yang mengumpulkan komunitas, dan pemanfaatan media sosial.
Peran sosialisasi akhirnya menjadi opsi utama, disusul ketakutan pemilih jika hak pilihnya dimanfaatkan untuk hal yang tidak benar sebesar 17,1 persen, diingatkan oleh orang sekitar 14,2 persen, dan enam opsi lainnya.
Walaupun sudah berhasil menjadi alasan utama pemilih tergerak ke tempat pemungutan suara (TPS), diakui upaya paling berat yang mereka rasakan adalah menggunakan media sosial, sedangkan Universitas Udayana mendata sebanyak 88 persen dari sampel pemilih merupakan pengguna media sosial aktif.
Data pun mengamini tantangan KPU, sebab faktanya 74 persen responden tidak follow atau mengikuti akun media sosial penyelenggara pemilu.
Penyelenggara tidak bisa hanya berpuas dengan 42,4 persen peran mereka tadi, ke depan dengan masuknya generasi alpha sebagai pemilih pemula memaksa lebih banyak lagi penyelenggara berasal dari generasi yang paham optimalisasi media sosial.
Meskipun sosialisasi sudah dilakukan dengan masif dan dikatakan berhasil menjadi alasan kuat pemilih datang ke TPS, masih ada pemilik hak suara yang memutuskan tidak menggunakan haknya.
Di Bali, alasan utama responden tak hadir adalah harus bekerja di hari pemilihan, ini juga menjadi tantangan penyelenggara karena sejatinya sudah ada ketentuan hari libur saat hari pemungutan suara.
Berangkat dari riset dua perguruan tinggi ini, ditemukan pula tingginya angka pemilih yang permisif terhadap politik uang.
Untuk hal ini, paparan sosialisasi dari KPU mengenai larangan politik uang bukan satu-satunya alasan sehingga universitas melihat masalah ini tidak bisa dibebankan ke KPU semata, melainkan perlu menjadi perhatian bersama ke depan.

Baca juga: Mengulas tahapan Pilkada Bali yang ramah lingkungan