Jakarta (ANTARA) - Dalam kegiatan Serah Terima Jabatan Menteri Pertanian pada 25 Oktober 2019 di Jakarta, Menteri Pertanian periode 2014-2019 Amran Sulaiman mengungkap permasalahan penting yang mengganggu selama masa kepemimpinannya di Kementerian Pertanian. Permasalahan tersebut adalah keberadaan mafia pangan. Dalam kegiatan tersebut, Amran menyebutkan bahwa keberadaan mafia pangan berperan penting memuluskan impor pangan. Sebagai contoh yaitu adanya kekeliruan data luas baku sawah di Banyuasin, Sumsel, yang dirilis Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS), dimana BPN menyatakan luas baku sawah di lokasi tersebut mencapai 9.700 Hektare sedangkan citra satelit Kerangka Sampel Area (KSA) yang digunakan BPS menyatakan luas baku sawah adalah nol. Penggunaan data BPS sebagai acuan, sebagaimana disampaikan Amran, membuat lokasi tersebut tidak mendapatkan pupuk sehingga produksi beras menjadi turun. Hal inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Pemerintah untuk mengimpor pangan.
Dalam kesempatan lain, indikasi keberadaan mafia pangan juga pernah diungkap Dirut Perum Bulog sekaligus mantan Kabareskrim Polri Budi Waseso. Budi mengungkapkan adanya oknum di lapangan yang memanipulasi kualitas beras Bulog, dengan cara memasukkan beras medium ke dalam kemasan bermerek premium. Cara tersebut berhasil membuat oknum mafia pangan menikmati keuntungan Rp9 Miliar setiap bulan dari margin harga beras premium yang dipalsukan.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Kerakyatan dari Universitas Trilogi Muhamad Karim menyatakan bahwa mafia pangan adalah salah satu problem distribusi pangan di Indonesia. Hal ini dikarenakan eksistensi mafia pangan di Indonesia telah terstruktur dalam waktu yang cukup lama dan bekerja dengan cara sistematis. Selain itu, lingkaran mafia pangan juga terdapat dalam pengambil kebijakan dan penegak hukum yang berhasil disuap. Adapun tujuan utama para mafia pangan tersebut adalah mendorong kebijakan impor pangan dengan alasan stabilisasi harga dan cadangan nasional.
Lantas kemudian, bagaimana cara untuk menghentikan tingkah para mafia pangan tersebut?. Menurut Pemerhati Pertanian Harbrinderjit Singh (HS) Dillon, salah satu caranya adalah Pemerintah perlu meningkatkan produksi pangan melalui berbagai kebijakan dan program terobosan untuk membawa produk Indonesia masuk ke pasar ekspor dunia. Adapun syarat utama untuk meningkatkan ekspor pangan adalah Pemerintah mengeluarkan kebijakan politik yang pro-petani.
Selain itu, cara lainnya adalah dengan melakukan swasembada pangan. Melalui program swasembada pangan, akan tersedia pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, dan nilai gizi yang tinggi kepada masyarakat. Dalam kacamata ekonomi, swasembada pangan adalah program pemberdayaan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Dalam kata lain, swasembada pangan adalah proses demokrasi pangan bagi masyarakat Indonesia. Prosesnya yaitu petani dilibatkan dari mulai memproduksi beras, kemudian hasil pangan tersebut dibeli negara dengan harga yang sesuai dan memberikan keuntungan bagi petani, dan pada akhirnya beras yang dihasilkan tersebut dikonsumsi kembali untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
Keberadaan mafia pangan hanyalah benalu bagi masyarakat Indonesia terutama petani, karena mereka memanfaatkan celah rente dalam kebijakan impor pangan untuk mendapatkan kepentingan ekonomi politik mereka sendiri. Pemerintah perlu berupaya maksimal untuk melakukan swasembada pangan dan mengeluarkan kebijakan politik pro-petani, karena kebijakan tersebut dipercaya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri terutama di sektor riil, sekaligus memberikan trickle down effect bagi para petani dan berbagai usaha yang terkait dengan mereka. (4/*).
*) Penulis adalah pemerhati ekonomi.
Mafia Pangan: Sabotase Ekonomi
Jumat, 3 Januari 2020 13:48 WIB
Keberadaan mafia pangan hanyalah benalu bagi masyarakat Indonesia terutama petani, karena mereka memanfaatkan celah rente dalam kebijakan impor pangan untuk mendapatkan kepentingan ekonomi politik mereka sendiri.