Jakarta (Antaranews Bogor) - Wirausahawan muda Jakarta Muhammad Idrus menilai ketimpangan ekonomi di Ibu Kota Jakarta semakin parah akibat praktik kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat.
"Kita bisa lihat gejala maraknya toko retail modern hingga pelosok kampung, sementara warung tradisional banyak yang gulung tikar. Hal itu menambah parah pengangguran di Ibu kota," katanya di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan dalam dialog dengan warga Tugu Permai, Koja, Jakarta Utara, Idrus yang juga Ketua BPP HIPMI Bidang Infrastruktur Laut dan Pesisir itu merujuk data perkembangan retail modern seperti Indomaret dan Alfamart yang menggurita.
Saat ini katanya, ada sekitar 10.600 gerai Indomaret di seluruh Indonesia, 488 di antaranya berlokasi di Jakarta. Sedangkan Alfamart memiliki 8.557 gerai di seluruh Indonesia.
"Tragisnya lokasi retail modern berdekatan dengan warung tradisional. Padahal barang yang dijual lebih beragam dan harganya pun lebih murah. Tentu warung kelontong kalah bersaing," katanya.
Lebih tragis lagi katanya, data mengenai warung tradisional tidak pernah jelas karena tidak dipandang sebagai pelaku ekonomi potensial.
Dikemukakan bahwa sebenarnya DKI Jakarta sudah punya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Perpasaran Swasta.
Dalam Perda tersebut disebutkan, penyelenggara usaha swasta harus memenuhi ketentuan, harga jual barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya.
Namun katanya dalam praktik, tidak ada yang mengawasi pelaksanaan Perda tersebut demi melindungi warung rakyat.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform (CIR) Sapto Waluyo melihat dalam skala luas praktik kebijakan yang pro-retail modern akan memiskinkan warga.
"Kita tahu di minimart orang harus bayar tunai untuk membeli barang, sementara di warung sebagian warga berutang saat belanja. Akibatnya, terjadi siklus keuntungan dan pembesaran aset di retail modern. Sedang warung tradisional mengalami siklus utang dan penurunan aset hingga bangkrut," katanya.
Kemunduran ekonomi rakyat itu, kata dia, yang memperparah tingkat kemiskinan karena warga kehilangan pekerjaan di sektor informal.
Ia merujuk data bahwa jumlah penduduk miskin di Jakarta per bulan September 2013 sebesar 375,70 ribu orang (3,72 persen).
Dibandingkan dengan Maret 2013 (354,19 ribu orang atau 3,55 persen), kata dia, jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 21,51 ribu atau 0,17 poin.
Sedangkan dibandingkan dengan September 2012, jumlah penduduk miskin sebesar 366,77 ribu orang (3,70 persen), atau meningkat 8,93 ribu atau 0,02 poin.
Rasio Gini (tingkat kesenjangan ekonomi) penduduk Indonesia tahun 2013 (0,41), kata dia, juga meningkat dibandingkan tahun 2012, yakni 0,38.
Indonesia pernah mencapai angka gini rasio terendah pada tahun 2008 yang saat itu hanya 0,35.
Ketimpangan ekonomi Jakarta diperparah kebijakan tidak pro-rakyat
Rabu, 2 April 2014 14:08 WIB