Jakarta (Antaranews Bogor) - Tokoh muda Jakarta Muhamad Idrus mendesak agar pemerintah daerah dan pusat konsisten dalam penanganan masalah pascabencana.
"Banjir yang terjadi di Ibu Kota 2013-2014 ternyata lebih luas dibanding enam tahun lalu (2007). Bukan hanya perkampungan kumuh di bantaran Kali Ciliwung atau pinggir pantai Jakarta yang terendam, melainkan juga kawasan bisnis dan pusat perkantoran/pemerintahan. Banyak faktor yang menyebabkan luasnya dampak banjir, tapi konsistensi tindakan jadi penentu," katanya di Jakarta, Rabu.
Muhammad Idrus yang juga Ketua BPP HIPMI bidang Infrastruktur Laut dan Pesisir melakukan aksi sosial layanan kesehatan dan kebersihan lingkungan di kawasan Kampung Muka, Ancol, Jakarta Utara.
Ia ikut terjun langsung membersihkan selokan di kawasan tersebut.
Menurut dia, ketidaksinkronan kebijakan bisa merugikan warga korban bencana.
Misalnya, katanya, dalam kasus penentuan status tanggap darurat yang sempat diperselisihkan antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Pemprov DKI.
"BNPB mengusulkan agar tanggap darurat diperpanjang, sementara Pemda menetapkan tanggap darurat berakhir 12 Februari 2014 karena kondisi cuaca sudah membaik," katanya.
Keputusan itu, katanya, akan berkonsekuensi penggunaan anggaran reguler pascabencana, yang mungkin mengurangi kualitas pelayanan terhadap warga korban.
Contoh lain yang sempat jadi sorotan publik adalah inisiatif modifikasi cuaca yang melibatkan berbagai instansi.
Program itu menyedot dana sekitar Rp28 miliar dan melibatkan BNPB, BPPT dan Pemprov DKI.
"Tapi, rupanya koordinasi dengan TNI kurang mulus, sehingga penyediaan pesawat jadi terbatas," katanya.
"Sebagai respon eksperimental, tindakan itu amat riskan di tengah pelayanan publik yang masih lemah dalam distribusi logistik dan kesehatan pengungsi," tambah Idrus yang turut menyalurkan bantuan kepada warga.
Jangan saling lempar
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform (CIR) Drs Sapto Waluyo, M.Sc menekankan jangan sampai instansi pusat atau daerah saling lempar tanggung jawab atas masalah yang muncul di lapangan.
Misalnya, program normalisasi sungai dan waduk, itu sudah jelas mana tugas pusat dan daerah.
Ia mengatakan dana penanganan banjir DKI Jakarta, menurut APBD sebesar Rp187 miliar. Anggaran itu untuk pengerukan kali dan saluran air di wilayah tengah dan barat masing-masing Rp20 miliar.
Untuk Satgas penanganan drainase di lima wilayah kota dianggarkan Rp15 miliar. Satgas perbaikan di 41 kecamatan Rp20 miliar. Perbaikan dan pemeliharaan sarana pengendali banjir Rp30 miliar. Perbaikan sarana konservasi sumber daya air Rp13,5 miliar.
"Pemda DKI sudah memiliki dana lebih dari cukup untuk mencegah banjir di masa datang atau mengurangi risiko korban banjir. Tapi, jika tidak dijalankan dengan konsisten dan dikoordinasikan lintas instansi, maka anggaran itu akan mubazir," katanya.
Satu hal lagi yang patut diperhatikan, menurut Sapto Waluyo, yakni perbaikan infrastruktur jalan.
Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta mencatat 1.818 jalan rusak dengan rincian 359 rusak berat, 1.096 rusak ringan, 152 rusak jalan nasional, 211 lubang jalan, belum termasuk 56 jembatan dan 305 trotoar rusak, di mana paling banyak dan parah di Jakarta Barat.
"Perbaikan jalan dan infrastruktur publik harus dilakukan segera. Agar tidak menimbulkan korban bagi para pengendara motor atau mobil. Di samping itu, kualitas jalan juga harus prima, sehingga tidak cepat rusak akibat genangan sesaat," tambah Muhammad Idrus.
Pemerintah harus konsisten penanganan pascabencana
Kamis, 13 Februari 2014 16:44 WIB