Beijing (ANTARA) - Pemerintah China menegaskan tidak akan membiarkan kekuatan sayap kanan di Jepang untuk membangkitkan militerimse di negara tersebut.
"China tidak akan pernah membiarkan kekuatan sayap kanan Jepang memutar balik roda sejarah, tidak akan pernah membiarkan kekuatan eksternal mencampuri wilayah Taiwan milik China, dan tidak akan pernah membiarkan bangkitnya kembali militerisme Jepang," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing, Jumat (12/12).
Hal tersebut disampaikan masih terkait dengan ketegangan hubungan antara Beijing dan Tokyo sejak 7 November 2025 ketika Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi militer China terhadap Taiwan, dapat "menimbulkan situasi yang mengancam kelangsungan hidup bagi Jepang". Pernyataan itu ditafsirkan sebagai sinyal kemungkinan keterlibatan Pasukan Bela Diri Jepang dalam merespons skenario tersebut.
"Militerisme Jepang adalah musuh umat manusia di seluruh dunia. China akan bekerja sama dengan semua negara dan rakyat yang mencintai perdamaian untuk bersama-sama menjaga hasil kemenangan Perang Dunia II dan tatanan internasional pascaperang," tambah Guo Jiakun.
China, ungkap Guo Jiakun, mendesak Jepang untuk memutuskan hubungan secara tegas dengan militerisme serta mengambil tindakan nyata untuk menyingkirkan bayang-bayang militerisme yang hingga kini masih membayanginya.
"Pemerintah Jepang telah lama mendukung gerakan regresif kelompok sayap kanan. Beberapa perdana menteri dan tokoh politik telah memberikan penghormatan di Kuil Yasukuni tempat para penjahat perang dihormati," ungkap Guo Jiakun.
Guo Jiakun menyebut beberapa politisi Jepang secara terbuka mempertanyakan Pernyataan Murayama yang menunjukkan refleksi dan permintaan maaf atas pemerintahan kolonial dan agresi Jepang.
Mantan PM Jepang Tomiichi Murayama yang menjabat pada periode 1994-1996 dikenal sebagai pemimpin yang meminta maaf atas agresi Jepang di Asia pada masa perang.
Pada 1995, dia mengeluarkan "Pernyataan Murayama" untuk menyampaikan "penyesalan yang mendalam" dan "permintaan maaf yang tulus” atas penderitaan yang ditimbulkan oleh penjajahan dan agresi Jepang.
"Pihak Jepang bahkan mencoba untuk menutupi kejahatan perangnya dan mengubah sejarah agresinya melalui merevisi buku teks lebih dari sekali. Tindakan itu sangat buruk dan merupakan tantangan terang-terangan terhadap tatanan internasional pasca-perang dan penghinaan terhadap hati nurani manusia," tambah Guo Jiakun.
Meski tidak menyebut siapa sayap kanan yang dimaksud Guo Jiakun, tapi PM Jepang saat ini Sanae Takaichi dikenal sebagai tokoh sayap kanan sekaligus sosok yang sangat konservatif dan nasionalis dalam spektrum politik Jepang. Sebagai pengagum mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, ia mencontoh gaya kepemimpinan kuat ala Thatcher sehingga media kerap menyebutnya sebagai Iron Lady atau "Wanita Besi" Jepang.
Takaichi menjadi menjadi PM Jepang pada 21 Oktober 2025 setelah terpilih setelah memenangkan pemungutan suara di parlemen Jepang. Perempuan pertama yang menjadi PM Jepang itu lebih dulu terpilih sebagai Ketua Liberal Democratic Party (LDP).
Ia dikenal sebagai anak didik mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Takaichi pernah menjabat di beberapa kabinet Shinzo Abe dan di kabinet mantan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida.
PM Takaichi juga diketahui kerap mengunjungi Kuil Yasukuni, yakni kuil di Tokyo yang berkaitan dengan perang dan dipandang oleh negara-negara tetangga sebagai simbol kuat militerisme Jepang di masa lalu.
Selain PM Takaichi, saat ini di Jepang juga mengalami peningkatan dukungan terhadap partai populis sayap kanan yang tadinya tidak dikenal, Sanseito. Partai tersebut dalam pemilihan parlemen majelis tinggi mendapat 15 kursi dari tadinya hanya 1 kursi.
Slogan yang mereka angkat adalah "Jepang Pertama", terinspirasi dari "Amerika Pertama" milik Presiden AS Donald Trump. Pendiri Sanseito, Sohei Kamiya, merupakan mantan manajer supermarket dan anggota cadangan Pasukan Bela Diri Jepang. Ia menyebut Trump memberikan pengaruh bagi "gaya politiknya yang berani".
Sanseito, yang berarti "berpartisipasi dalam politik," didirikan pada 2020, saat pandemi COVID-19 dan mendapatkan popularitas melalui video YouTube dan media sosial melalui kampanye anti-vaksin dan anti-globalisme untuk masyarakat yang tidak puas dengan partai-partai konvensional.
Meski menyebut tidak mempromosikan xenofobia, tapi Sanseito menyebut masyarakat Jepang merasa tidak nyaman dan tidak puas karena tidak ada aturan yang ditetapkan untuk menerima orang asing.
Orang asing yang dimaksud bukan hanya mereka yang tinggal untuk bersekolah dan bekerja di Jepang tapi juga wisatawan yang semakin banyak datang ke Jepang karena nilai yen yang lemah sehingga memungkinkan peningkatan arus turis ke negara tersebut, tapi turis disebebut berperilaku tidak sopan dan tidak menghormati norma kesopanan di Jepang.
