Jakarta (ANTARA) - Tren penggunaan kendaraan elektrifikasi di Indonesia, dalam dua tahun belakangan ini menunjukkan catatan yang cukup positif. Penjualan kendaraan listrik yang terus meningkat, justru membawa lembar pekerjaan baru dalam hal mengatasi limbah baterai nantinya.
“Pertumbuhan pengguna EV di Indonesia perlu diimbangi dengan persiapan menghadapi potensi limbah baterai, termasuk jenis LFP yangg nilai recycle-nya relatif rendah agar tidak menimbulkan dampak lingkungan di masa depan,” kata pakar bidang otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Dia melanjutkan bahwa pencegahan melimpahnya limbah baterai ini sudah perlu dibicarakan dengan matang, baik dari sisi produsen, maupun pemerintah yang memiliki otoritas dalam membuat peraturan, agar nantinya tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.
Salah satu solusi strategis yang mulai banyak dibahas adalah penerapan ekonomi sirkular di sektor baterai. Melalui pendekatan ini, baterai bekas tidak langsung diperlakukan sebagai limbah, melainkan bisa dimanfaatkan kembali dalam bentuk baru yang lebih produktif.
Penerapan yang paling nyata adalah dengan menggaungkan program second life untuk baterai EV, dengan cara mengonversinya menjadi battery energy storage system (BESS).
Sistem penyimpanan energi ini dapat digunakan untuk mendukung stabilitas jaringan listrik nasional, mengoptimalkan pemanfaatan energi terbarukan, hingga menyimpan kelebihan energi dari pembangkit tenaga surya.
“Agar efektif, tentunya diperlukan kolaborasi kuat antara pemerintah, produsen, dan pemangku kepentingan global, melalui regulasi EPR (Extended Producer Responsibility) serta insentif investasi daur ulang,” ujar dia, menjelaskan.
Pendekatan ini, sekaligus membuka peluang investasi di sektor daur ulang dan pemprosesan material kritis dari baterai yang sudah tidak dimanfaatkan pada mobil listrik, seperti nikel, kobalt, dan lithium.
Dengan begitu, baterai bekas dari mobil listrik ini tidak lagi sekadar dipandang sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3, tetapi justru sebagai aset strategis bagi upaya bersama untuk ketahanan energi nasional.
