Bogor (Antaranews Megapolitan) - Jaminan kehalalan suatu bahan atau produk merupakan kebutuhan mendasar bagi konsumen muslim. Populasi penduduk muslim di Indonesia pada tahun 2010 sudah mencapai 205 juta orang. Jumlah tersebut merupakan potensi konsumen yang sangat besar bagi industri makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika.
Menurut Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor (FMIPA IPB), Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang (20/9). Prof. Tun Tedja telah melakukan Orasi Ilmiah Guru Besar pada Sabtu (22/9) di Auditorium Andi Kampus IPB Dramaga, Bogor.
Dikatakannya, urusan sertifikasi halal sejak akhir tahun 1980-an ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan IPB dengan membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM).
“Pada tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-undang No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal atau UU JPH. UU JPH ini menjadi dasar terbentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH yang memiliki peran yang sangat penting dalam implementasi aturan ini yang akan berlaku lima tahun setelah diundangkan. Artinya pada bulan Oktober 2019, undang-undang ini harus sudah dijalankan. Semua produk yang masuk, beredar dan diedarkan di Indonesia harus halal,” ujarnya.
Dalam proses sertifikasi halal terdapat tiga isu penting yakni pemalsuan, syubhat atau ketidakjelasan hukum haram atau halal pada produk akibat proses pengolahan bahan dan perbedaan pandangan mazhab.
Untuk menjembatani ketiga hal tersebut, diperlukan fatwa dari ulama yang didukung oleh pendekatan ilmiah. Implementasi undang-undang tersebut harus menerapkan prinsip ketertelusuran, keautentikan dan keterjaminan. Ketiga prinsip ini memerlukan disiplin ilmu kimia.
“Ada titik-titik kritis keharaman bahan. Yakni titik kritis daging hewan, etanol, produk mikrobial, produk berbasis nabati dan produk lainnya. Seluruh bagian tubuh dari babi haram padahal produk turunan babi seluruhnya itu digunakan. Daging babi masuk dalam najis berat sehingga persentuhan dengan najis berat mengakibatkan keharaman bahan yang bersentuhan. Insulin itu dari pankreas babi. Yang lagi ngetren sekarang enzim dari lambung babi. Dari kulitnya bisa jadi gelatin, darah bisa menjadi media fermentasi. Dalam praktiknya, lemak, kulit dan bulu tidak dapat dipisahkan secara sempurna dari daging babi sehingga Komisi Fatwa MUI menyatakan bahwa semua komponen dari babi serta produk turunannya juga merupakan bahan haram,” terangnya.
Titik kritis lainnya menurutnya adalah saat proses transformasi bahan menjadi produk akhir. Tranformasi tidak hanya melibatkan reaksi kimia tetapi juga dapat melalui proses fisis dan biologis atau kombinasi dari ketiga proses tersebut.
Dicontohkannya, proses pembuatan vitamin C dari D-glukosa yang umumnya diperoleh dari hidrolisis pati. Titik kritisnya terletak pada penggunaan media pertumbuhan mikroba pada rekasi isomerasi, bahan penolong pada proses tranformasi fisis.
Contoh lainnya adalah penggunaan resin dalam proses pemurnian. Resin umumnya halal namun proses pembuatannya dapat melibatkan bahan haram seperti gelatin babi sebagai stabilizer walaupun pada akhirnya juga dipisahkan dari produk utama.
“Ada yang menarik dalam menentukan kehalalan alkohol. Ada jenis bahan yang menurut fatwa MUI mempunyai dua status halal atau haram. Etanol dari industri khamar jelas haram, tetapi etanol yang bukan untuk minuman keras yang kemudian ditranformasikan menjadi isoamil asetat ternyata berstatus halal. Bahan ini banyak digunakan sebagai flavor pisang pada makanan,” ujarnya.
Menurut Guru Besar Tetap Departemen Kimia IPB ini, semua kegiatan autentikasi bahan halal atau apapun yang berhubungan dengan bahan ternyata menuntun kita untuk masuk ke dalam dunia kimia. Ilmu kimia mempelajari tentang karakteristik materi, transformasinya dan energi yang terlibat dalam transformasi tersebut. (zul)
Guru Besar IPB: Tahun 2019, semua produk yang beredar di Indonesia wajib halal
Jumat, 28 September 2018 11:26 WIB
Ada titik-titik kritis keharaman bahan. Yakni titik kritis daging hewan, etanol, produk mikrobial, produk berbasis nabati dan produk lainnya.