Jakarta (ANTARA) - Penghujung Agustus 2025 menjadi penanda baru sejarah subkultur yang memiliki kekuatan politik di Indonesia, yakni ojek online (ojol).
Di masa lalu, subkultur yang menggerakkan perubahan di luar parlemen dengan turun ke jalan, mayoritas berasal dari subkultur mahasiswa, buruh, petani, dan agregat dari ketiganya yaitu kaum miskin kota.
Masyarakat menengah seringkali juga menjadi penggerak perubahan, tetapi tidak turun langsung ke jalan, kecuali segelintir orang yang mengarahkan pergerakan ketiga subkultur tersebut.
Kini, publik menyaksikan sebuah subkultur baru yaitu pengemudi ojek online (ojol) yang dapat memengaruhi perubahan di jalanan.
Di era awal banyak ojol yang justeru menjadi korban dari sesama profesi (pengojek pangkalan) yang lebih dulu mapan di jalanan.
Kini ojol telah bermetamorfosis menjadi kekuatan besar yang tidak terbendung yang dapat bergerak dengan sangat mobile dan sangat cepat dalam hitungan detik melampaui pergerakan mahasiswa, buruh, dan petani bahkan juga mungkin melampaui kecepatan mobilitas aparat pemerintah.
Mobilitas dengan kecepatan tinggi ojol memang bukan suatu hal yang mustahil karena subkultur ojol memiliki semua sumberdaya pendukung.
Pertama, subkultur ojol memiliki banyak SDM yang terdidik. Ketika di masa COVID-19 melanda Indonesia, sebagian besar kelas menengah terdidik lulusan sarjana dirumahkan. Kalangan ini kemudian menjadi pengemudi ojol karena menjadi satu-satunya pilihan profesi yang paling mudah untuk bertahan hidup di masa pandemi. Pada masa itulah subkultur ojol mendapat migrasi besar-besaran kaum terdidik.
Potret subkultur seperti ini langka ditemui pada subkultur petani atau buruh. Para sarjana yang menjadi aktivis gerakan petani dan buruh umumnya bukan lahir dari petani organik atau buruh organik, tetapi berasal dari aktivis mahasiswa yang tertarik pada perjuangan kaum petani dan buruh.
Kedua, pengemudi ojol merupakan anak kandung transformasi digital di Indonesia dengan cara berpikir spasial. Ponsel pintar di genggaman tangan pengemudi ojol sudah seperti pedang di tangan para samurai Jepang.
Pengemudi ojol tidak lagi mengalami gegar budaya ketika berhadapan dengan smartphone beserta sejumlah aplikasi baru dan membaca peta digital. Gegar budaya digital karena gagap teknologi (gatek) ini harus diakui masih terjadi di subkultur lain seperti petani dan buruh, bahkan masih juga terjadi di kalangan menengah.
Ketiga, pengemudi ojol memiliki sumberdaya yang jauh memadai untuk bergerak lebih akseleratif yaitu motor kendaraaan roda dua dengan mobilitas tinggi dengan biaya murah.
Ketika sebuah pikiran kritis yang menjadi tujuan bersama diterjemahkan secara sistematis, lalu siap dieksekusi dengan turun ke jalan, maka pengemudi ojol dari berbagai penjuru kota dapat berkumpul di suatu titik serentak dengan hanya mengisi penuh tangki bensin dengan biaya kurang dari Rp100.000.
Sumber daya ini juga bahkan tidak dimiliki mahasiswa karena tidak semua mahasiswa memiliki kendaraan motor. Pada konteks ini subkultur petani, buruh, dan bahkan mahasiswa memiliki hambatan yang tak dimiliki oleh pengemudi ojol.
Keempat, pengemudi ojol memiliki fleksibilitas waktu yang tinggi layaknya pemilik saham yang merdeka waktu.
Hal tersebut berbeda dengan subkultur petani yang seringkali ketika akan turun ke jalan mempertimbangkan musim tanam atau musim panen.
Demikian pula kaum buruh yang harus bolos dari bekerja karena pekerjaannya dibatasi oleh jam kerja. Hal serupa dengan mahasiswa yang seringkali tidak dapat turun ke jalan ketika musim ujian tengah semester atau musim ujian akhir semester berlangsung. Pengemudi ojol terbebas dari ikatan waktu.
Keempat sumberdaya yang dimiliki itulah yang membuat aksi pada Agustus-September 2025 seperti menjadi panggung politik untuk ojol sebagai kelompok yang teroganisir di era digital.
*) Penulis adalah Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Generasi Muda Mathla'ul Anwar.
