Jakarta (Antaranews Megapolitan) - Negara-negara anggota ASEAN perlu menerapkan pendekatan terbaru guna mengantipasi dampak dunia siber yang memiliki ancaman lebih besar ketimbang dunia riil atau setidaknya mengurangi dampak risikonya, kata pakar keamanan siber Dr Rudi Lumanto.
"Baik ancaman secara ekonomi atau politik dalam bentuk `cyber crime`, teror maupun perang," kata Ketua Lembaga Keamanan Internet Indonesia (Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII).
Rudi Lumanto, pada Selasa (17/4) mengikuti konferensi kelima Putra Jaya Forum di Kuala Lumpur, Malaysia.
Konferensi dibuka PM Malaysia Datuk Seri Najib Tun Razak, bertemakan "Rekalibrasi Arsitektur Keamanan Regional".
Selain membahas topik keamanan konvensional-militer, juga dibicarakan keamaan siber. Untuk tema keamanan nasional dan regional, tampil pembicara para Menteri Pertahanan dari Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina.
Konferensi diadakan berbarengan dengan pameran produk-produk pertahanan dari seluruh dunia dan dihadiri petinggi militer baik dari angkatan darat, laut maupun udara dari berbagai negara.
Rudi Lumanto menekankan langkah-langkah yang perlu dijalankan dalam membentuk ASEAN yang andal berdasarkan peta ancaman siber yang dihadapi.
Langkah pertama, kata dia, adalah membangun kesadaran dan pola pikir pencegahan dalam setiap aktivitas siber.
Ia memberi contoh, hampir tidak ada layanan yang gratis 100 persen di dunia siber.
"Masyarakat ASEAN punya kecenderungan menyukai yang gratis," kata Rudi, yang juga aktif dalam dunia pendidikan sebagai Ketua Yayasan Profesi Terpadu Nurul Fikri dan mengelola STT Nurul Fikri.
Bahkan, kata dia, meskipun untuk itu mereka berisiko kehilangan aset data-data pribadi yang justru sekarang ini sangat tinggi nilainya.
Ia merujuk data bulan Januari 2018 yang menyebutkan bahwa pengguna Facebook terbesar di dunia adalah masyarakat ASEAN.
Demikian pula dengan pengguna Google, rata-rata mengira bahwa mereka mendapatkan layanan gratis.
"Padahal, sesungguhnya data pengguna Facebook atau Google lewat berbagai macam cara di-`profiling` dan dimanfaatkan untuk kepentingan komersial. Tahun 2017, Google mendapatkan pemasukan sebesar 109 miliar dolar AS dari jasa tersebut, sesuatu yang tidak mungkin didapatkan jika hanya memberikan layanan super gratis," katanya.
Peneliti Center for Strategic Development Studies (CSDS) Drs Sapto Waluyo, MSc melihat perlunya perlindungan data pribadi bagi para pengguna platform komunikasi media sosial, apalagi Indonesia belum punya payung hukum yang kuat.
"Dulu pernah dirancang RUU Perlindungan Data Pribadi oleh Kementerian Kominfo. Tetapi, kabarnya diambil alih sebagai inisiatif DPR. Semoga segera bisa dituntaskan," katanya.
Menurut dia aturan mengenai data pribadi sangat krusial karena tren data semakin meluas di luar sektor telekomunikasi dan informasi. Beberapa waktu lalu, kata Sapto Waluyo, masyarakat dikejutkan dengan kewajiban registrasi pemegang kartu selular. Saat ini, masyarakat hanya memiliki payung hukum perlindungan data pribadi melalui Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 20 Tahun 2016.
"Karena itu, harus diperkuat agar masyarakat tidak menjadi korban pihak manapun yang mengeksploitasi data pribadi," katanya.
Sementara itu, dalam konferensi itu Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu menyampaikan prasaran untuk menjaga dan meningkatkan keamanan regional dari tantangan keamanan global.
"Kita perlu meningkatkan kerja sama multilateral antara anggota ASEAN dan mengimplementasikan secara optimal usulan Indonesia yang sudah disetujui sebelumnya, yaitu sistem pengawasan regional `Our Eye`," katanya
Menurut Ryamizard sistem itu semacam "Five Eye" yang dimiliki oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
(T.A035/B/B012/B012) 18-04-2018 11:15:47
Pakar: ASEAN perlu antisipasi ancaman dunia siber
Rabu, 18 April 2018 17:34 WIB
Ancaman itu secara ekonomi atau politik dalam bentuk `cyber crime`, teror maupun perang