Jakarta (ANTARA) - Setiap tahun, study tour atau karya wisata menjadi agenda yang dinanti oleh siswa, tetapi agenda tersebut memunculkan sejumlah persoalan, terutama terkait keselamatan dan biaya.
Sesuai dengan namanya, karya wisata bukan sekadar perjalanan, tetapi juga bagian dari kegiatan belajar atau ibadat jendela yang membuka wawasan siswa terhadap dunia nyata.
Di balik manfaatnya, karya wisata juga menghadapi sejumlah tentangan dari beberapa pihak yang melihat ada mudarat dari kegiatan itu.
Beberapa kecelakaan yang melibatkan rombongan siswa menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua dan sekolah. Selain itu, biaya yang tinggi kerap menjadi beban bagi keluarga memicu perdebatan tentang urgensi dan relevansi kegiatan ini dalam sistem pendidikan.
Belakangan ini, beberapa pemerintah daerah, seperti Jawa Barat dan Banten mengeluarkan kebijakan yang melarang pelaksanaan study tour bagi siswa sekolah. Langkah ini diambil dengan mempertimbangkan faktor keselamatan serta efektivitas pembelajaran, terutama setelah meningkatnya jumlah kecelakaan yang melibatkan rombongan karyawisata.
Namun, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya sejalan dengan pandangan pemerintah pusat. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa pemerintah tidak melarang karya wisata tetapi menekankan pentingnya aspek keamanan dalam pelaksanaannya.
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) Ateng Aryono yang menilai keselamatan transportasi harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan terkait study tour. Ia menyoroti praktik beberapa operator angkutan yang mengabaikan standar keselamatan demi menekan biaya.
Dia menegaskan bahwa lembaga pemberi izin harus lebih ketat dalam memantau dan menginspeksi operator angkutan pariwisata. Keselamatan harus menjadi bagian dari budaya operasional, bukan sekadar formalitas.
Ina menilai beberapa permasalahan seputar kegiatan karya wisata mulai dari kondisi bus transportasi yang kerap kali mengkhawatirkan hingga mahalnya biaya yang harus dibayar orang tua siswa, kurang tepat bila menjadi alasan utama untuk melarang keberlangsungan kegiatan tersebut.
Menurut dia, permasalahan utama dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut ialah adanya beberapa oknum yang memosisikan kegiatan study tour sekolah sebagai "proyek" untuk mendapatkan keuntungan materi hingga mengaburkan esensi study tour menjadi kegiatan wisata semata dengan biaya operasional yang mahal.
Di tengah perbedaan pandangan antara pemerintah daerah dan pusat dan beragam pihak lainnya, diperlukan solusi yang dapat menjembatani kepentingan semua pihak. Sekolah perlu memastikan bahwa destinasi yang dipilih memiliki nilai edukatif yang sesuai dengan kurikulum agar study tour tidak hanya menjadi ajang rekreasi semata.
Di tengah pro dan kontra yang ada, karya wisata tetap bisa menjadi bagian dari sistem pendidikan yang bernilai. Dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat, keseimbangan antara edukasi dan rekreasi dapat tercapai tanpa mengorbankan keselamatan serta aksesibilitas bagi seluruh siswa.
Baca juga: Banten larang karya wisata meski diperbolehkan Mendikdasmen
Baca juga: Larangan "study tour" sekolah berisiko rugikan pariwisata
Baca juga: Larangan "study tour" sekolah di Jabar berdampak jumlah pengunjung di TMII