Jakarta (ANTARA) - Wakil rakyat yang juga seorang musisi Ahmad Dhani sidang DPR RI terkait naturalisasi pemain sepak bola meminta pemerintah melakukan program naturalisasi pemain sepak bola senior dari negara lain untuk dijodohkan dengan perempuan Indonesia, sehingga dapat menghasilkan anak yang diharapkan dapat menjadi pemain bola andal.
Usulan konyol ini kontan mendapat respons negatif dari berbagai pihak, termasuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pernyataan Ahmad Dhani dinilai melecehkan perempuan karena menempatkan perempuan sekadar mesin reproduksi anak dan pelayan seksual suami.
Masih segar dalam ingatan, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, beberapa kandidat terjebak dalam pernyataan bersifat diskriminatif dan seksis. Pernyataan tidak layak itu, mulai dari menyarankan pemuda pengangguran untuk menikahi janda kaya, bahwa perempuan jangan diberi beban berat sebagai gubernur, ada juga yang menyarankan agar tidak memilih imam berjenis kelamin perempuan.
Sikap semacam itu juga bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk kesetaraan dan keadilan gender, seperti termuat dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 terkait penetapan ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Tujuan 5.
CEDAW mengamanatkan para pejabat publik, termasuk pembuat kebijakan agar menahan diri untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan dan mengambil langkah strategis untuk menghapuskan diskriminasi tersebut.
Patriarki sebagai sistem sosial yang menempatkan lelaki sebagai pemegang kekuasaan dominan, mempengaruhi cara pandang dan perlakuan terhadap perempuan.
Dalam budaya Jawa, perempuan yang sudah berstatus sebagai istri sering disebut sebagai kanca wingking, teman di belakang.
Jika dimaknai secara mendalam, istilah tersebut menunjukkan peran krusial perempuan sebagai pendorong, penentu kesuksesan seseorang yang bekerja di balik layar, sebagaimana ungkapan “di balik kesuksesan seorang laki-laki, ada perempuan hebat di belakangnya”.
Namun, istilah tersebut seringkali dipahami secara dangkal bahwa peran perempuan hanya sebatas 3M, macak, masak, manak (berdandan, memasak, melahirkan).
Jika cara pandang yang salah terhadap perempuan ini diserap secara tidak sadar melalui pendidikan, kebiasaan dalam keluarga dan budaya, maka “obat penawarnya” mungkin bisa didapatkan dari sisi itu.
Dimulai dari rumah, orang tua perlu sejak dini mengajarkan dan memberi contoh kepada anak-anak mengenai nilai-nilai kesetaraan dan menghormati perempuan. Pengajaran yang sejalan tentu juga harus dilakukan di sekolah.
Budaya populer juga bisa menjadi media yang tepat dengan menghindari penggambaran perempuan secara stereotip dan sebagai objek.
Tentunya yang lebih penting adalah aturan hukum yang ketat dalam hal perlindungan perempuan serta para pemimpin yang memiliki sikap mendukung kesetaraan gender melalui tindakan nyata dan kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Sikap dan pernyataan pemimpin harus lebih bijak dan sensitif terhadap isu gender. Melalui contoh yang baik, pemimpin bisa mendorong perubahan sosial yang positif dan memperkuat kebijakan perlindungan perempuan.
Dengan kebijakan yang tepat dan sikap pemimpin yang memberikan teladan, Indonesia bisa menjadi negara yang lebih aman dan ramah bagi perempuan.
Baca juga: Ada 356 korban kekerasan perempuan dan anak di Jakarta sejak awal 2025
Baca juga: DKI tambah 9 Pos Pengaduan Kekerasan Perempuan dan Anak pada 2025
Baca juga: Perlindungan bagi jurnalis perempuan