Batam (ANTARA) - Siang itu, Monika (62) tengah duduk santai di balai-balai di ujung dermaga Kampung Panglong, Desa Berakit, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Pada siang hari begitu, seharusnya menjadi jam istirahat tidurnya, karena nanti malam dia harus turun ke laut untuk mencari teripang atau gamat.
Melaut sudah menjadi pekerjaan sehari-hari nenek enam orang cucu itu sejak belia, karena orang tuanya merupakan Suku Laut. Dia pernah merasakan tinggal mengapung di atas laut, dan kini sudah tinggal di darat.
Sejak menikah dengan Top (63), suaminya yang juga seorang nelayan pencari kepiting. Monika tidak pernah meninggalkan pekerjaannya pergi melaut, kecuali kalau badannya sakit dan cuaca buruk.
Pekerjaan itu dilakoninya, selain karena sudah menjadi profesi, juga untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Ia aktif melaut di malam hari, bersama nelayan perempuan lainnya di Panglong, menggunakan sampan menuju pulau seberang. Sementara suaminya melaut di pagi hari khusus mencari kepiting di hutan bakau (Mangrove) yang ada di seberang pulau. Dari penghasilan suami per hari, kalau sedang banyak mendapat kepiting bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu sampai Rp300 ribu, kalau sepi cuma Rp100 ribu.
Sementara itu, dari penghasilan Monika mencari gamat, dan harus melalui masa pemprosesan, memakan waktu 10 hari, dia mendapatkan hasil Rp1 juta.
Sejak September 2024, Monika bersama rekannya, Kristina (40), Hariyah (45), Norma (54), dan Muliana (42), tidak hanya melaut mencari gamat dan kerang, tapi juga aktif mencari bibit bakau atau mangrove untuk dikumpulkan dan disemai, lalu ditanam kembali.
Kelompok usaha masyarakat Panglong juga memiliki tempat persemaian, walaupun tidak berukuran besar yang saat ini mampu menampung 4.000 bibit Mangrove jenis Rhizophora stylosa. Rencananya bibit tersebut akan ditanam di area konservasi mangrove di Desa Berakit pada April 2025, usai Idul Fitri.

Awal tahun 2000, aktivitas penebangan hutan mangrove untuk kayu bakar dihentikan seiring ditutupnya dapur pembakaran kayu bakau di Kampung Panglong, serta ditetapkan hutan mangrove di Desa Berakit, Kabupaten Bintan, sebagai kawasan konservasi menjadi pijakan bagi Monika dan rekan-rekan nelayan untuk terus berjuang menjaga kelestarian mangrove.
Gerakan menjaga mangrove tidak hanya dilakoni oleh Monika dan rekannya, tetapi juga meluas ke sejumlah RW di Desa Berakit, hampir 40 perempuan dari berbagai profesi, mulai dari ibu rumah tangga, guru, nelayan, pemilik warung, usaha jahit dan pemilik usaha kue, terlibat dalam aksi nyata melindungi dan menjaga hutan bakau.
Mereka, di antaranya Mujiastuti (45), janda pemilik usaha kue, Suryana (34) berprofesi sebagai guru honorer, Nurlama Sari (28) pedagang pempek, Meli Indra Dewi(40) pemilik usaha jahit dan Sudarni (29), nelayan. Perempuan-perempuan yang dijuluki “worrior mangrove” ini tergabung dalam Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP). Total ada 2 KUEP yang terbentuk di Desa Berakit, yakni KUEP Tenggiri dan KUEP Melati.
Ketua KUEP Tenggiri Ayu Narti (45) menceritakan motivasinya dan rekan-rekan turut terlibat dalam konservasi mangrove adalah membantu suaminya menambah uang guna memenuhi kebutuhan harian.
Di antara semua pekerjaan yang dilakoni mereka, perempuan-perempuan tangguh itu bersemangat ketika menceritakan pengalamannya menanam bibit mangrove di lokasi persemaian.
Total ada 46 ribu bibit mangrove yang siap ditanam tersimpan di arena persemaian yang ditanam oleh Mujiastuti dan kawan-kawan. Meski harus berpanas-panasan dan gatal-gatal kena lumpur laut, Mujiastuti dan kawan-kawan mengatakan usaha menjaga mangrove dan melindunginya mereka lakukan bersama para suami.
Upaya perempuan Desa Berakit menjaga dan melindungi mangrove tidak bergerak sendiri. Secara intensif mereka didampingi Yayasan Ecology Kepulauan Riau (YEKR), didukung oleh Yayasan CARE Indonesia, dan termonitor oleh pemerintah daerah.
Total ada 65 hektare luas areal kawasan mangrove yang butuh ditanami kembali, namun 46 ribu bibit yang disemai ibu-ibu KUEP baru bisa menutupi satu hektare kawasan yang terdegradasi.
Kepala Bidang Kelautan Konservasi dan Pengawasan Dinas Kelautan Perikanan Kepri Raja Taufik Zulfikar menyampaikan, luas kawasan konservasi perairan di wilayah timur Pulau Bintan mencapai 138.661,420 hektare.
Raja mengatakan kawasan konservasi yang dibuat dan dikelola, tujuannya adalah untuk menjaga ekosistem perairan, seperti terumbu karang, lamun dan mangrove sebagai tempat tumbuh dan berkembang biaknya ikan, sehingga di dalam kawasan itu dilindungi agar ikan berkembang secara alami.
Baca juga: Polresta Bengkulu tanam 6.000 bibit pohon mangrove
Baca juga: Kodim 1510 tanam 1.000 bibit mangrove di Kepulauan Sula
Baca juga: MedcoEnergi tanam 5.000 pohon mangrove rehabilitasi Pantai Sederhana dari abrasi