Jakarta (ANTARA) - "Enam minggu itu adalah pekerjaan terberat dalam hidup saya", demikian pengakuan Judyth Sachs, seorang Profesor dan Peneliti dari Macquarie University, dalam artikel berjudul Learning to be a Teacher yang diterbitkan pada tahun 2005.
Ungkapan ini mengisahkan pengalaman Sachs selama magang sebagai guru di Inggris, sebuah pengalaman yang hingga kini tetap relevan untuk dibicarakan, terutama jika kita berbicara tentang profesi guru.
Pernyataan tersebut bukanlah untuk merendahkan profesi lainnya, melainkan untuk menggambarkan betapa beratnya beban yang harus dihadapi oleh seorang guru.
Mengajar di sekolah, bukanlah sekedar pekerjaan rutin yang dapat diselesaikan dengan mudah. Tekanan pekerjaan yang dihadapi guru tidak pernah surut. Dari hari ke hari, pelajaran harus dipersiapkan untuk diajarkan, PR dan hasil ujian harus dinilai, serta perilaku murid yang tidak selalu mudah diatur harus ditangani. Semua itu, dilakukan untuk kemajuan pendidikan, tetapi menguras energi yang luar biasa.
Di banyak kesempatan, para guru sering kali membawa pekerjaan mereka pulang untuk diselesaikan di rumah, bahkan di malam hari. Namun, tantangan yang dihadapi para guru tidak berhenti sampai di situ. Beban birokrasi yang membelenggu dunia pendidikan sudah menjadi masalah yang umum diketahui, dan meskipun tuntutan administratif seringkali lebih berat dari yang bisa dibayangkan, para guru tidak dapat mengeluh.
Sayangnya, beban birokrasi ini seringkali tidak dipersiapkan dengan baik saat para calon guru menjalani pendidikan di bangku kuliah. Pendidikan profesi guru lebih sering terfokus pada aspek teori dan praktik mengajar di ruang kelas, sementara tantangan administratif yang harus mereka hadapi setelah terjun ke dunia kerja jarang dibahas atau dipersiapkan dengan matang. Selain itu, para guru harus menanggapi berbagai keluhan dan komplain dari orang tua siswa di luar jam kerja resmi.
Revitalisasi pendidikan profesi
Pengembangan profesionalisme guru telah lama diakui sebagai elemen kunci dalam mengubah praktik kelas, meningkatkan mutu sekolah, dan, pada akhirnya, memperbaiki hasil belajar siswa.
Mengajar, sebagai sebuah profesi, bukanlah sekadar transfer pengetahuan, melainkan sebuah bentuk “merawat”—sebuah aktivitas yang muncul dari interaksi kompleks dan multidimensional antara guru dan siswa. Pemahaman ini menekankan bahwa pengajaran bukan hanya tentang menguasai materi, tetapi juga tentang membentuk hubungan yang bermakna, yang mempengaruhi kedua belah pihak.
Dalam menghadapi tantangan besar tersebut, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi guru.
Salah satu langkah penting yang telah diambil adalah sertifikasi guru sebagai pendidik profesional. Sejak 2024, sebanyak 605.650 guru di Indonesia telah menerima sertifikasi yang menandakan mereka memenuhi standar profesional yang tinggi.
Pada tahun 2025, Kemendikdasmen berencana untuk menambah 806.000 guru yang akan mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang dirancang lebih transparan dan efisien, sebagai langkah untuk memastikan bahwa kualitas pengajaran terus berkembang dan dapat mengikuti tuntutan zaman.
Selain itu, peningkatan kompetensi sosial dan emosional guru juga harus menjadi bagian dari proses revitalisasi ini, mengingat peran guru yang sangat sentral dalam pembentukan karakter dan nilai siswa.
Dengan langkah-langkah yang tepat, revitalisasi pendidikan profesi guru tidak hanya akan menghasilkan tenaga pendidik yang lebih kompeten, tetapi juga dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih mendukung dan berkelanjutan. Jika kita ingin mewujudkan perubahan yang signifikan dalam kualitas pendidikan Indonesia, maka program PPG harus menjadi salah satu prioritas utama dalam agenda pendidikan kita.
*) Nofica Andriyati adalah Dosen PGSD Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Mahasiswa Doktoral Shaanxi Normal University, China
Baca juga: Bappenas: Kesejahteraan guru investasi strategisBaca juga: Mendikdasmen: Guru kunci keberhasilan pendidikan