Bogor (Antara Megapolitan) - Kesulitan Indonesia dalam menyeimbangkan neraca pangan sebenarnya sudah dialami sebelum awal krisis moneter di pertengahan tahun 1997.
Pada 2016, Indonesia masih menyisakan hampir 40 persen penduduk yang belum berketahanan pangan. Ini berarti bahwa upaya perbaikan tetap harus ditingkatkan.
Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir Wahju Qamara Mugnisjah M.Agr, penyediaan pangan sebagai paradigma ketahanan pangan di tingkat perorangan lebih tepat jika dibandingkan di tingkat keluarga.
Ketahanan pangan di tingkat perorangan artinya ketahanan pangan itu berlaku untuk setiap jiwa penduduk Indonesia.
"Penyediaan pangan berbasis pada keluarga itu seharusnya bukan menjadi tugas pemerintah, melainkan tugas para kepala keluarga. Sedangkan penyediaan pangan berbasis pada perseorangan seharusnya merupakan tugas utama pemerintah," katanya.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) telah berhasil merealisasikan 9 dari 10 indikator target ketahanan pangan. Namun, penurunan jumlah penduduk yang rawan pangan masih kurang berhasil. Hal ini terlihat dari capaiannya yang baru 27 persen dari target.
"Ini berarti sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, ketahanan pangan masih tetap menjadi masalah hingga sekarang," ujarnya.
Menurutnya, jika lumbung pangan di tataran masyarakat terjadi maka ketahanan pangan akan terwujud. Jika ketahanan pangan di tingkat Rukun Tetangga (RT) digulirkan ke atas, maka lumbung pangan terwujud. Perlu kemauan yang didukung dengan upaya, sehingga semua yang terlibat memiliki visi yang sama.
"Penyampaian visi itu penting. Visinya harus sama, jika tidak maka tidak akan tercapai ketahanan pangan," imbuhnya.
Dalam kesempatan ini, Prof. Qamara menyarankan agar penyelesaian masalah ketahanan pangan diupayakan dengan pendekatan skenario. Diperlukan juga visi baru pembangunan pertanian untuk merespon ketahanan pangan.
"Visi yang saya usulkan adalah sistem pertanian berkelanjutan berbasis ilmu pengetahuan dan sumberdaya sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi dalam tataran ekonomi global," kata dia. (zul)