Bogor, (ANTARA) - Kedatangan fajar baru di ufuk timur 1 Januari 2025, ketidakstabilan global tak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Ketidakstabilan dunia, antara lain, ditandai beragam tragedi kehidupan akibat perang, konflik, pemanasan global, dan perubahan iklim, terus mendera sejumlah kawasan.
Masyarakat dunia terus menyaksikan peningkatan rivalitas geopolitik antarbangsa besar dan fragmentasi geoekonomi.
Saat kebiadaban genosida oleh zionis Israel di Gaza, Palestina, terus berlangsung tanpa jeda sejak pecah perang 7 Oktober 2023, dunia juga menyaksikan kejadian beruntun kecelakaan pesawat di pengujung 2024.
Di tengah situasi dan kondisi dunia yang tak menentu dan penuh tragedi itu, masyarakat dunia, termasuk kita di Indonesia, bersiap memasuki tahun baru Masehi tanpa pilihan, kecuali meneruskan hidup dan kehidupan.
Dalam suasana que sera, sera inilah, Indonesia dan banyak negara lain di belahan bumi mana pun dituntut untuk bersiap dan mampu menyongsong masa depan penuh dengan ketidakpastian ini.
Karena itu, langkah-langkah cerdas dan proaktif sangat penting agar Indonesia mampu merespons secara efektif beragam peluang dan tantangan yang mungkin muncul pada 2025 dan beberapa tahun mendatang.
Muhammad Teguh Ariffaiz Nasution, analis pertahanan dari lembaga kajian Horizon, menyampaikan lima isu penting yang menuntut langkah antisipatif pemerintah Indonesia, yakni, rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok yang meningkat; isu Taiwan dengan Tiongkok; sengketa Laut China Selatan, khususnya antara Tiongkok dan Filipina: perang Rusia-Ukraina; dan situasi di Timur Tengah yang terus membara.
Konflik-konflik ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga 2025. Karena itu, menurut Teguh Nasution, Indonesia perlu mempertimbangkan dampak global dari konflik-konflik tersebut, termasuk risiko eskalasi yang lebih luas yang dapat menyebabkan gangguan lebih lanjut terhadap rantai pasokan global dan peningkatan harga energi dan komoditas pangan.