Jakarta (ANTARA) - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa resmi ditandatangani oleh Presiden pada 25 April 2024. Regulasi tersebut menambah masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun.
Penambahan masa jabatan ini diharapkan diikuti dengan pembangunan yang semakin berkualitas dan berkelanjutan. Pembangunan tersebut ke depan seharusnya juga dikawal dengan data-data yang lebih berkualitas pada tingkat desa.
Penguatan data desa yang lebih komprehensif dimungkinkan dapat tersedia jika pemerintah desa mampu menjadi produsen data berkualitas sesuai kaidah Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Perpres ini pun mengawali mimpi tentang "Satu Data Indonesia" dari desa.
Mencuatnya urgensi penguatan data hingga tingkat desa tidak terlepas karena kucuran dana yang tidak kecil bagi pemerintah desa.
Apakah penambahan masa jabatan dan dana tersebut akan berdampak besar pada kesejahteraan masyarakat desa? Pertanyaan ini hanya dapat dijawab jika tersedia data-data objektif di tingkat desa.
Seperti kata mendiang W. Edwards Deming, pakar statistik dan konsultan Amerika, “Without data, you’re just another person with an opinion”. Tanpa data, Anda hanyalah seseorang yang membawa pendapat.”
Pemerintah melalui BPS telah mengantisipasi urgensi penyediaan data pada tingkat desa dengan melaksanakan Survei Potensi Desa (Podes) sejak 1980.
Awalnya, survei ini hanya mencakup data terkait ketersediaan fasilitas dasar di desa dan dilakukan tiga kali dalam 10 tahun. Kemudian, pada tahun 1994 Survei Podes dimanfaatkan untuk perhitungan indeks desa tertinggal yang berfokus pada penanggulangan kemiskinan desa.
Mulai tahun 2014, Podes dikembangkan untuk digunakan sebagai sumber data perhitungan Indeks Kesulitan Geografis (IKG) dan Indeks Pembangunan Desa (IPD). Kedua indeks tersebut masing-masing dapat memetakan kondisi kesulitan suatu desa dan status desa berdasarkan ketersediaan dan aksesibilitas pelayanan pada masyarakat Desa.
Sejarah perkembangan data pada tingkat desa tersebut menunjukkan betapa penting data desa bagi pembangunan di Indonesia.
Namun, penyediaan data pada tingkat desa yang lebih komprehensif bukanlah pekerjaan rumah yang mudah dan memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Misalnya saja, permintaan data PDRB tingkat desa memerlukan data sektoral dan banyak data pendukung lainnya yang mencakup setiap kategori lapangan usaha, dari pertanian, industri, hingga jasa-jasa pada tingkat desa.
Sementara itu, penyediaan data tersebut harus dimulai dari pembangunan sumber daya statistik yang cukup mumpuni dan merata di seluruh pemerintah desa/kelurahan seluruh Indonesia. Ketersediaan data tersebut juga harus diikuti dengan jaminan pemeliharaan data secara berkala dan berkelanjutan. Jika tidak, data hanya akan menjadi deretan angka tak bermakna.
Namun, selain penguatan payung hukum tentang data, percepatan penguatan data desa memerlukan banyak penguatan dari sumber daya lainnya.
Pertama, penguatan literasi statistik dan penggunaan teknologi informasi bagi perangkat dan pendamping desa. Aspek sumber daya manusia (SDM) ini merupakan suatu keniscayaan yang harus terus diperkuat. Penguatan ini guna menjamin pemenuhan konsep, kaidah, dan standar prosedur penyelenggaraan statistik desa yang baik dan benar.
Selain penguatan SDM, penggunaan teknologi informasi juga perlu diperkuat agar setiap data dan output kegiatan dapat terdokumentasi dan memudahkan persiapan, pelaksanaan kegiatan statistik, hingga diseminasi data di desa.
Kedua, penguatan pengalokasian dan pengawalan anggaran desa untuk pembangunan statistik di desa. Anggaran ini sebaiknya tidak hanya dialokasikan untuk mendukung prasarana dan sarana dalam pengumpulan data, tetapi juga pengolahan hingga analisis serta penyebarluasan data. Pengalokasian tersebut juga perlu diikuti dengan pengawalan melalui pengawasan berkala agar output data berkelanjutan antar waktu benar-benar tersedia dan konsisten.
Ketiga, penguatan fungsi pembina data untuk mendampingi penyelenggaraan statistik desa. BPS sebagai pembina data sesuai Perpres No. 39 Tahun 2019 telah mengupayakan pembinaan tata kelola data di desa melalui Desa Cinta Statistik (Desa Cantik).
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas desa dalam mengidentifikasi kebutuhan data dan potensi yang dimiliki desa.
Selain itu, BPS juga mendampingi prototipe implementasi satu data dari desa melalui Jembrana Satu Data dari Desa di Provinsi Bali tahun 2022. Program ini bertujuan untuk membangun tata kelola data sehingga tersedia data berkualitas dan terkini untuk pembangunan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Jembrana. Jika fungsi pembina data terus diperkuat, pemerintah desa ke depan dapat mengelola datanya sesuai kaidah statistik secara mandiri.
Keempat, penguatan implementasi pemanfaatan data desa dalam berbagai kebijakan desa. Desa saat ini tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, tetapi juga subjek pembangunan itu sendiri. Desa diharapkan dapat merasakan sendiri bagaimana data dapat bermanfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Tidak dapat dimungkiri pemanfaatan hasil pengelolaan data dapat menunjukkan bukti nyata pentingnya data dalam pembangunan desa. Keluaran dari pemanfaatan data dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dapat memotivasi pemerintah desa untuk mengelola data dengan lebih baik.
Mimpi satu data desa Indonesia tidak dapat terwujud tanpa koordinasi dan kolaborasi berbagai pihak. Perwujudan mimpi ini selayaknya lari estafet yang sarat ide keberlanjutan. Antusiasme penguatan data dari desa diharapkan terus menyala sehingga optimisme menghasilkan data desa yang lengkap dan mutakhir pun tak padam. Dengan tata kelola data yang semakin baik, diharapkan kebijakan pembangunan dari desa dapat semakin tepat sasaran dan besar manfaatnya menuju Indonesia Emas.
*) Febria Ramana, SST, M.S.E. merupakan Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)