Jakarta (ANTARA) - Myanmar masih diliputi krisis sejak militernya menggulingkan pemerintahan terpilih melalui sebuah kudeta pada 1 Februari 2021.
Mereka menggulingkan pemerintahan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi dan menjebloskan para pemimpinnya ke penjara, termasuk peraih Nobel Aung San Suu Kyi, atas dugaan kecurangan dalam pemilu.
Junta militer kemudian melancarkan serangan brutal untuk menumpas perbedaan pendapat terkait hasil pemilu sehingga menyebabkan jatuh banyak korban jiwa, dan luka-luka, serta perpecahan di negara itu.
Serangan brutal menyebabkan 80 persen wilayah di negara itu terdampak oleh aksi kekerasan, dengan sekitar 55 ribu rumah warga mengalami kerusakan, menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) per Maret 2023.
Lebih dari 1,6 juta orang juga mengungsi dalam 2 tahun terakhir, dengan sekitar 17,6 juta warga Myanmar sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk lebih dari 5 juta anak di negara itu.
Sementara itu, serangan brutal juga menyebabkan 2.890 orang tewas di tangan militer, termasuk orang-orang yang bekerja dengan mereka, dengan 767 orang awalnya ditahan sejak militer merebut kekuasaan, menurut data PBB tersebut.
Lebih dari dua tahun setelah kudeta, Myanmar masih berada dalam kekacauan, dengan junta militer pada Senin (31/7) secara resmi menunda pemilihan umum untuk menggantikan pemerintahan yang mereka gulingkan, yang awalnya dijanjikan pada Agustus tahun ini.
Baca juga: Sabotase Thailand pada upaya bersama ASEAN mencari solusi damai di Myanmar
Menyusul penundaan tersebut, pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing, dalam pertemuan dengan Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) yang didukung tentara, memperpanjang status darurat hingga enam bulan ke depan.
Perpanjangan itu dilakukan untuk keempat kalinya sejak junta militer melakukan kudeta, dengan perpanjangan status terakhir dilakukan pada Februari tahun ini.
Junta menyebut kekerasan yang masih berlangsung sebagai alasan untuk menunda pemungutan suara.
“Dalam melaksanakan pemilu, agar pemilu bisa dilakukan secara bebas dan adil serta dapat memberikan suara tanpa rasa takut, tetap diperlukan pengaturan keamanan sehingga masa darurat perlu diperpanjang,” demikian pernyataan junta yang dibacakan di televisi pemerintah.
Sehari setelah perpanjangan masa darurat tersebut, junta militer juga memberikan grasi kepada pemimpin Myanmar yang dipenjara sejak kudeta, Aung San Suu Kyi, menurut laporan sejumlah media.
Grasi tersebut membuat hukuman terhadap Suu Kyi berkurang 6 tahun dari 33 tahun masa hukuman yang seharusnya.
Dengan grasi tersebut, Suu Kyi mendapat pengampunan lima dari 19 dakwaan yang diajukan terhadapnya.
Junta militer menjebloskan Suu Kyi ke penjara atas berbagai tuduhan, mulai dari penghasutan dan kecurangan pemilu, hingga korupsi. Suu Kyi membantah semua tuduhan itu.
Sementara itu, mantan Presiden Win Myint yang digulingkan bersama Suu Kyi juga mendapatkan pengurangan hukuman penjara sehingga masa hukumannya menjadi 8 tahun, tidak lagi 12 tahun penjara.
Konflik yang diakibatkan oleh perebutan kekuasaan di Myanmar kian memanas, dengan upaya menuju perdamaian tampaknya masih perlu dilakukan lebih keras lagi.
Baca juga: AS dan Singapura pesimistis dengan situasi di Myanmar
Solusi damai
Dengan kian memanasnya konflik yang terjadi di Myanmar, banyak negara dari seluruh dunia memberikan perhatian dan mencoba menawarkan solusi untuk mencapai perdamaian di negara itu.
Upaya itu terutama dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk membantu mewujudkan perdamaian di Myanmar melalui dialog inklusif di antara seluruh elemen yang ada di negara itu.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan dalam Pertemuan Ke-56 Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM) pada Rabu (12/7) bahwa selama masa keketuaannya di ASEAN, Indonesia telah melakukan lebih dari 110 pendekatan.
ASEAN juga telah berhasil menyelesaikan laporan pemetaan bantuan yang dibutuhkan rakyat Myanmar serta menyalurkannya ke berbagai wilayah yang terdampak konflik di negara itu.
Indonesia juga telah berbicara dengan banyak pihak di Myanmar, termasuk Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) - pemerintah bayangan yang menjadi oposisi junta, Dewan Administrasi Negara (SAC) yang dibentuk militer, dan organisasi perlawanan etnis (EROs), serta masyarakat sipil Myanmar untuk membuka jalan menuju dialog inklusif.
Retno menegaskan bahwa Konsensus Lima Poin (5PC) harus tetap menjadi acuan bagi ASEAN untuk penanganan krisis di Myanmar.
"5 PC adalah acuan utama, dan implementasi 5 PC harus tetap jadi fokus ASEAN," kata Menlu Retno pada kesempatan itu.
Konsensus Lima Poin (5 PC) merupakan kesepakatan yang dibuat oleh sembilan pemimpin ASEAN dengan pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dalam pertemuan tingkat tinggi di Jakarta, pada 24 April 2021.
Baca juga: ASEAN bergerak cepat berikan bantuan kemanusiaan untuk korban Topan Mocha di Myanmar
Lima poin itu meliputi tuntutan agar aksi kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya.
Kemudian, dialog konstruktif di antara semua pihak yang berkepentingan juga perlu dilakukan untuk mencari solusi damai.
Selanjutnya, utusan khusus ASEAN wajib memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan sekretaris jenderal ASEAN.
ASEAN dalam kesepakatan tersebut juga berjanji akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui Pusat Koordinasi ASEAN untuk Bantuan Kemanusiaan dalam Penanggulangan Bencana (AHA Center).
Dan poin kelima dari kesepakatan itu menuntut dibukanya akses bagi utusan dan delegasi khusus ASEAN untuk mengunjungi dan bertemu dengan pemangku kepentingan di Myanmar guna mewujudkan dialog yang inklusif.
Penegasan Retno terkait Konsensus Lima Poin dilakukan setelah Thailand pada Juni mengadakan pertemuan yang mengundang perwakilan junta Myanmar, yang dikucilkan dari berbagai pertemuan ASEAN karena mereka melanggar konsensus dan terus melakukan aksi kekerasan terhadap rakyatnya.
Thailand memberikan pembenaran atas pertemuan tersebut dengan mengatakan bahwa dialog dengan junta sangat diperlukan untuk melindungi negaranya, yang memiliki perbatasan panjang dengan Myanmar.
Menlu Thailand Don Pramudwinai mengatakan bahwa pendekatan dengan otoritas Naypyidaw, termasuk dengan junta, sangat diperlukan.
"Harus ada pendekatan dengan junta," katanya di sela-sela AMM Ke-56 pada Rabu (12/7).
Pramudwinai menilai pembicaraan yang sudah tiga kali diselenggarakan Thailand dengan mengundang junta Myanmar telah sesuai dengan kesepakatan para pemimpin ASEAN berdasarkan dokumen Tinjauan dan Keputusan Implementasi Konsensus Lima Poin.
Dia merujuk pada Artikel 14 dari dokumen hasil yang dirilis usai KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja, yang menyebutkan bahwa “ASEAN akan mempertimbangkan untuk menjajaki pendekatan lain yang dapat mendukung pelaksanaan Konsensus Lima Poin”.
Pendekatan tersebut, menurut dia, sejalan dengan Konsensus Lima Poin yang telah disepakati ASEAN.
"Ya, konsensus itu adalah lima poin yang ingin kita capai bersama, tetapi ini adalah pendekatan (kami) dengan teman-teman Myanmar. Kami menginginkan penyelesaian. Sebenarnya, tujuannya sama," kata dia.
Menlu Retno menegaskan bahwa upaya untuk membantu mewujudkan perdamaian di Myanmar melalui dialog inklusif merupakan upaya yang sangat kompleks.
Untuk itu perlu kehati-hatian dalam melakukannya agar tidak melegitimasi pihak manapun yang mengklaim posisinya di Myanmar.
"(Ini) tidak mudah sama sekali," kata Menlu Retno.
Pendekatan yang dilakukan selama ini, menurut Menlu, hanya sebuah sarana dan yang terpenting adalah bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mendorong dialog di antara pihak-pihak di Myanmar.
Menlu Retno menekankan bahwa dialog akan membuka jalan bagi terciptanya solusi politik, dan hanya solusi politik yang dapat menciptakan perdamaian yang tahan lama.
Sayangnya, aksi kekerasan masih terus berlanjut dan meningkat di Myanmar.
Karena itulah, Indonesia mengecam keras penggunaan aksi kekuatan dan kekerasan di Myanmar dan mendesak semua pemangku kepentingan untuk juga mengecam aksi kekerasan tersebut sebagai langkah penting untuk membangun kepercayaan.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI untuk Kawasan Ngurah Swajaya juga mengatakan di sela-sela AMM Ke-56 di Jakarta pada Jumat (14/7) bahwa Indonesia akan tetap menjalankan diplomasi senyap guna membantu menangani isu Myanmar dalam kapasitasnya sebagai ketua ASEAN.
“Pendekatan yang kita lakukan benar-benar untuk membangun kepercayaan, menyatukan semua pemangku kepentingan untuk bertemu,” demikian katanya.
Melalui berbagai upaya yang telah dilakukan Indonesia dalam keketuaannya di ASEAN tahun ini, diharapkan dialog inklusif antara seluruh elemen di Myanmar dapat benar-benar terwujud sehingga membuahkan perdamaian seperti yang diharapkan.
Mencermati konflik Myanmar dan tawaran solusi damai oleh negara-negara ASEAN
Oleh Katriana Kamis, 3 Agustus 2023 11:40 WIB