Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan RI menilai bahwa pandemi COVID-19 menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kasus rabies di Indonesia meningkat.
"Puncaknya tahun 2022. Jadi pada tahun 2020, 2021 itu kan zaman COVID-19 semua kegiatan berhenti termasuk vaksinasi terhadap hewan peliharaan. Kemudian efektivitas vaksin yang disuntikkan kepada hewan juga sudah mulai menurun maka terjadi lonjakan yang luar biasa pada tahun 2022," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi dalam konferensi pers yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia menyampaikan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) pada 2020 sebanyak 82.634, dengan 40 kematian. Pada 2021, kasus GHPR sebanyak 57.257, dengan 72 kematian, dan pada 2022 terjadi sebanyak 104.229 kasus dengan 102 kematian.
"Dan 2023 sampai saat ini sudah ada lebih dari 31.000 kasus gigitan yang dilaporkan, dan ada 11 kematian," paparnya.
Baca juga: Pemkot Depok akan gelar vaksinasi rabies gratis
Imran menambahkan hingga Mei 2023 terdapat 25 provinsi yang menjadi endemis rabies, hanya delapan provinsi yang bebas penyakit rabies.
Dalam kesempatan itu Imran menjelaskan gejala rabies pada manusia yakni pada tahap awalnya adalah timbul demam, lemas, lesu, tidak nafsu makan atau anorexia, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan dan sering ditemukan nyeri.
Setelah itu, lanjutnya, terjadi rasa kesemutan atau rasa panas (parestesi) di lokasi gigitan, cemas dan mulai timbul fobia yaitu hidrofobia, aerofobia, fotofobia sebelum meninggal dunia.
"Jadi tata laksana pada orang yang sudah masuk ke gejala rabies yang berat itu mereka harus dilakukan isolasi di rumah sakit di ruang yang gelap, karena mereka takut dengan cahaya," paparnya.
Baca juga: Waduh, tiga anak digigit anjing diduga rabies di Dompu NTB
Sementara gejala pada hewan, ia menambahkan hewan menjadi ganas dan tidak menurut pada pemiliknya.
"Jadi hati-hati kalau biasanya punya anjing yang penurut dan suatu saat tidak nurut bahkan menggigit, itu hati-hati," tuturnya.
Gejala lainnya, lanjutnya, yakni hewan tidak mampu menelan, lumpuh, mulut terbuka, dan air liur keluar secara berlebihan. Kemudian, bersembunyi di tempat gelap dan sejuk, ekor dilengkungkan ke bawah perut diantara kedua paha, kejang-kejang dan diikuti oleh kematian.
"Pada rabies asymptomatic hewan tidak memperlihatkan gejala sakit dan tiba-tiba mati," katanya.
Baca juga: Kabupaten Sukabumi sediakan vaksin rabies gratis untuk hewan peliharaan
Dalam rangka menanggulangi rabies di Indonesia, Imran menyampaikan yakni dengan terus melakukan koordinasi secara berkala dengan Lintas Kementerian/Lembaga melalui pendekatan One Health.
Kemudian, menyediakan Pedoman Penanggulangan Rabies untuk seluruh Faskes tingkat pertama dan lanjutan. Melatih pengelola program zoonosis baik dari sektor kesehatan manusia, hewan, maupun satwa liar. Menyediakan kebutuhan logistik berupa Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR).
Selain itu, menyediakan Media KIE untuk seluruh Faskes tingkat pertama dan lanjutan. Melakukan penyelidikan epidemiologi terpadu (sektor kesehatan manusia, hewan, dan satwa liar) jika terjadi peningkatan kasus/KLB. Melakukan surveilans pada manusia melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon. Dan membentuk Rabies Center.
Kemenkes: Pandemi COVID-19 jadi salah satu sebab kasus rabies meningkat di Indonesia
Jumat, 2 Juni 2023 17:44 WIB
Dan 2023 sampai saat ini sudah ada lebih dari 31.000 kasus gigitan yang dilaporkan, dan ada 11 kematian.